Minggu, 19 Maret 2017

PERAWAT, TENAGA KESEHATAN, DAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK

NURSE AND THERAPEUTIC COMMUNICATION

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke dua rumah sakit milik pemerintah. Yang pertama untuk mengantar ibu berobat penyakit X dan yang kedua untuk mengantar ayah berobat penyakit Y.

Pada dua kesempatan itu, dengan amat menyesal, saya terpaksa membawa anak saya serta, karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Menitipkan anak pada orang lain juga bukan perkara mudah. Selain tidak terbiasa, anak batita saya juga termasuk anak yang sulit dekat dengan orang baru. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu kesehatan, saya paham betul risikonya membawa anak ke rumah sakit. Tapi saya, pada situasi saya, tidak punya pilihan lain.

Di rumah sakit pertama, seorang perawat menegur saya,
" Ibu, anaknya sakit apa? Oh, disini tidak boleh membawa anak kalau bukan anaknya yang sakit. Karena bahaya buat si anak. Ini rumah sakit bu, bukan mall! ", ujarnya dengan nada tinggi dan sikap arogan.


Di rumah sakit kedua, seorang perawat juga menegur saya,
" Ibu, anaknya sakit apa? Oh, disini tidak boleh membawa anak kalau bukan anaknya yang sakit. Ibu, infeksi saya di sini tinggi sekali, lho... kasihan anaknya.", dengan nada rendah dan suara lembut.


Peringatan dari tenaga kesehatan seperti itu, sudah dapat saya prediksi sejak saya berangkat dari rumah. Tetapi akan seperti apa bentuk peringatannya, itu benar-benar surprise.

Teguran pertama sangat tidak mengenakkan, sekalipun saya salah. Saya merasa dihardik dan dipojokkan. Dengan membawa anak ke rumah sakit yang ber-AC, bukan berarti saya sebodoh itu dengan menganggap rumah sakit sama dengan mall.

Teguran yang kedua sangat mengenakkan dan mengedukasi, sehingga saya makin sadar dan malu, karena saat itu saya memang benar-benar salah. Perawat itu hanya menjelaskan fakta, bahwa kondisi rumah sakit tidak baik untuk anak. Tidak ada kalimat yang memojokkan. Saya merasa masih menjadi manusia yang punya martabat. Salut dan bangga saya pada petugas tersebut.

Kedua teguran yang saya alami tentu saja tujuannya sama-sama baik. Saya yakin tak ada satu pun tenaga kesehatan yang bertujuan buruk kepada pasiennya, karena saya pun seorang tenaga kesehatan. Tetapi untuk masalah cara penyampaian, ini sesuai dengan yang saya pelajari dahulu di kampus, butuh skill dan teknik tersendiri, butuh pengalaman, butuh latihan, dan butuh diri kita sendiri untuk menghadirkan bentuk komunikasi yang baik antara perawat dengan klien.

Komunikasi terapeutik yang saya pahami adalah model komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien/klien dan keluarganya, yang bertujuan untuk membuat nyaman dan mengefektifkan penyampaian informasi (pendidikan kesehatan) sehingga perawatan kesehatan akan berhasil.

Jika ada model komunikasi dengan petugas kesehatan, dimana pasien dan keluarganya merasa tidak nyaman, sehingga informasi yang disampaikan menjadi tidak efektif, buat saya komunikasi itu belum terapeutik.

Tulisan ini saya buat bukan untuk "menyerang" kawan-kawan sejawat, tetapi hanya sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, manakala saya kelak bertugas sebagai perawat. Saya harus melatih kembali kemampuan untuk berkomunikasi dengan klien secara terapeutik, agar klien saya tak perlu merasakan pengalaman buruk yang pernah saya rasakan. Dan yang pasti, agar klien lekas pulih dari sakitnya, karena seringkali komunikasi dengan petugas kesehatan menjadi separuh dari terapi.

HEALTH PROFESSIONALS AND THERAPEUTIC COMMUNICATION


Pengalaman terkait masalah komunikasi terapeutik ini juga pernah saya alami ketika saya berhubungan dengan tenaga kesehatan lain selain perawat. Sebut saja dokter, dokter gigi, dan bidan. Diantara rekan-rekan tenaga kesehatan yang punya kempampuan komunikasi yang bagus, masih ada saja terselip beberapa oknum tenaga kesehatan yang pola komunikasinya tidak terapeutik kepada pasien.

Kalimat-kalimat seperti:

" Ibu, kalau ibu memang pintar, silakan obati saja diri ibu sendiri! "
*** ini diucapkan oleh oknum tenaga kesehatan lain selain perawat, di salah satu Puskesmas


" Ibu, waktu ngelahirin aja teriak-teriak, waktu b*kinnya diem-diem. Malu tuh sama yang lahiran anak pertama tapi ga teriak-teriak. "
*** ini diucapkan oleh oknum tenaga kesehatan lain selain perawat, di sebuah rumah sakit pemerintah dan salah satu klinik


Dan perkataan-perkataan yang serupa itu dengan bahasa tubuh yang tidak memberi kenyamanan, juga pernah saya alami dan saksikan. Melihat dan mendengarnya sangatlah miris.

Tetapi syukur alhamdulillahnya, masih banyak juga rekan-rekan tenaga kesehatan yang arif dan bijaksana, yang lebih memilih kalimat-kalimat seperti:

" Ibu, kalau memang sakit, tolong angkat jarinya ya, supaya saya tahu..", ini pengalaman waktu saya ke dokter gigi.

" Ibu, kalau melahirkan sambil teriak itu nanti tenaganya habis. Sayang kan. Ayo ikuti saya, tarik nafas... hembuskan... Iya, bagus! ". Ini pengalaman melihat seorang parturien yang dibimbing oleh seorang bidan dengan sabarnya.

Alangkah bahagianya saya kalau semua tenaga kesehatan, apa pun profesinya, memiliki pola komunikasi tipe yang kedua. Rasanya baru ketemu saja dengan mereka, sudah langsung sembuh. Seolah-olah everything will be okay...

Semoga pelayanan kesehatan di Indonesia bisa lebih baik dari hari ke hari. Amin. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan.


Sumber rujukan:
Komunikasi dalam Keperawatan, Arwani, EGC, 2002

Rabu, 15 Februari 2017

KEHAMILAN DAN TANTANGANNYA



Ada pemandangan menarik ketika saya mampir belanja ke sebuah minimarket beberapa waktu lalu. Kasirnya sedang hamil, kira-kira trimester II. Wanita muda itu bekerja dalam posisi berdiri tanpa tersedia kursi di dekatnya. Setelah saya tanya, ternyata memang tidak disediakan kursi untuk kasir, karena alasan profesionalisme.

Memang benar, untuk kasir yang tidak hamil, akan lebih tampak profesional jika melayani pembeli dalam posisi berdiri. Tetapi untuk kasir yang hamil, saya kira perlu mendapat pengecualian. Saya yakin pembeli pun akan maklum dengan kondisi ini. Minimal, kursi tersedia di dekatnya, sehingga saat tidak ada pembeli, kasir tersebut bisa duduk. Sepertinya jam kerjanya umum, mungkin kira-kira 8 jam dalam satu shiftnya. Tetapi bagi seorang ibu hamil yang bekerja sambil berdiri, 8 jam itu menurut saya berat.

Sebagai seorang ibu yang pernah hamil dan pernah mendapat pendidikan kesehatan, naluri saya agak terusik. Akhirnya saya sms ke nomor pengaduan yang tertera di pintu minimarket. Intinya saya mengusulkan kepada pihak manajemen, bagaimana jika disediakan kursi bagi kasir yang hamil, setidaknya untuk beristirahat saat tidak ada pembeli. Tidak ada kabar balasan dari pihak manajemen minimarket. Mungkin karena sifatnya bukan komplain ya, tapi hanya usul. Namun saya lihat beberapa hari kemudian, kasir itu sudah tidak disana lagi. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya.

This is my first pregnancy journal...



Ngomong-ngomong soal hamil sambil bekerja, saya jadi ingat pengalaman saya sendiri sewaktu hamil Dova tiga tahun lalu. Hmmm… lumayanlah… pengalaman hamil saya tidak seringan yang saya bayangkan. Kalau saya jadi kasir itu, rasanya belum tentu sanggup. Pengalaman hamil saya diwarnai oleh sejumlah tantangan khas ibu hamil, walaupun tetap tidak menyurutkan semangat untuk menyambut kehadiran si kecil yang sudah lama ditunggu-tunggu.

KELELAHAN



Selama hamil, saya menjadi sangat mudah lelah. Pekerjaan rumah tangga yang biasanya saya babat habis sepagian, jadi tidak sanggup saya kerjakan walau hanya separuhnya. Saya menjadi lambat bekerja karena mudah lelah dan harus sering-sering beristirahat.

Awalnya saya memang merasa kerepotan dengan perubahan kondisi ini, karena ada berbagai hal yang jadi tidak selesai tepat waktu. Tetapi setelah saya menyadari bahwa hal ini alami terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk menyediakan energi bagi pertumbuhan janin di dalam kandungan, saya pun mulai mengatur strategi. Hanya pekerjaan-pekerjaan prioritas saja yang saya kerjakan, selebihnya… fleksibel dan menyusul.

MENGANTUK


Mudah mengantuk terjadi paling berat di trimester I. Saya merasa cukup tidur di malam hari, namun entah mengapa selalu saja saya tertidur dan tertidur lagi siang harinya. Mudah mengantuk ini boleh dibilang agak parah, karena saya benar-benar KO dengan rasa kantuk yang hebat.

Untungnya saya ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu dan jenis pekerjaan saya juga bukan formal. Jadi untuk masalah mengantuk ini tidak terlalu mengganggu pekerjaan. Saya hanya bekerja 2-6 jam sehari, itu pun di sore hari saat tubuh saya sudah beradaptasi dengan hari. Di malam hari sepulang bekerja, jangan tanya ada berapa lembar buku yang saya baca sebagai pengantar tidur, yang ada saya sukses tidur nyenyak tanpa mukadimah sedikitpun.

PUSING


 Pusing terjadi di trimester I dan II. Pusing ini cukup mengganggu, karena saya merasakan sensasi seperti berayun-ayun diatas perahu sampai sensasi berputar seperti naik komidi. Kalau dibiarkan, lama-lama bisa mengundang mual. Kalau dipaksakan berjalan atau beraktivitas, akan berisiko jatuh.

Kalau pusing ini sudah datang, saya mengalah, undur diri dari pekerjaan mulia menyiangi sayuran di dapur, dan merebahkan diri diatas kasur. Kalau ada suami, biasanya beliau yang membantu memijat kepala saya. Rasanya… hmm… nyaman sekali. Sepuluh atau lima belas menit kemudian, biasanya saya sudah tersenyum dan eksis kembali di dapur. Horeee…!!!

MUAL


Pertama kali saya merasakan mual waktu kehamilan sekitar 6 atau 7 minggu. Waktu itu saya sedang di dapur, berniat membuat sup ikan kuah asam ala Manado. Saya pikir, ikan tentu baik untuk kesehatan janin dan kuah asamnya pasti nikmat menggugah selera bumil.

Tapi apa yang terjadi kawan?

Saya keliyengan dan semaput seperti murid yang hipoglikemi saat upacara bendera hari senin. Jadilah saya terhuyung-huyung setengah berlari meninggalkan dapur menuju ruang depan. Sampai disana saya terkapar. Meninggalkan rebusan ikan full bumbu dalam panci. Rupanya saya mual mencium bau rebusan ikan yang biasanya jadi favorit saya. Semenjak itu, saya menghindari bau aneka rebusan dan bau-bauan yang menyengat lainnya.

Udara dingin juga membuat saya mual, sehingga kalau pulang mengajar dibonceng motor, saya harus memakai jaket dan pakaian yang agak tebal.

Udara yang gerah dan pengap serta kurang oksigen juga membuat saya mual. Hal ini pernah terjadi sewaktu saya pulang piknik dari Kebun Raya Bogor. Antrian tiket loket kereta api Commuterline di Stasiun Bogor minggu sore itu seperti antrian sembako murah, penuh sesak dan padat. Fiuuh… saya memilih untuk menyerahkan urusan mengantri itu pada suami saja, dan saya mengasingkan diri ke gerai donat di sebelahnya yang sejuk ber-AC.

Mual ini menetap sampai 9 bulan kehamilan, sepanjang hari tanpa mengenal waktu. Yang terberat adalah di trimester I dan II. Sampai saya mengalami penurunan berat badan. Bersyukurnya, meskipun mual-mual, saya tidak pernah muntah. Jadi makanan apa pun yang saya makan, asalkan cocok dengan selera, selalu bisa masuk.

Hanya jumlahnya tidak bisa banyak. Kalau banyak-banyak, mual juga. Jadi saya makan sedikit-sedikit tapi sering. Saya makan setiap 2 jam sekali dengan porsi kecil-kecil. Jadi mual ini hanya mengganggu proses masuknya makanan ke dalam tubuh saya saja. Tapi kalau makanan sudah berhasil masuk, biasanya tidak akan keluar lagi.

FLEK


Saya mengalami flek dari minggu ke-6 sampai minggu ke-26. Flek biasanya makin parah kalau saya banyak bergerak, mengangkat beban berat, dan terkena guncangan. Untuk masalah guncangan, saya sampai membeli bantal kecil untuk diduduki sebagai peredam guncangan saat dibonceng motor. Jadi kemana-mana saya harus membawa bantal itu.

Pengalaman keguguran sebelumnya juga membuat saya was-was menghadapi tantangan yang satu ini. Hasil konsul dengan DSOG adalah: kandungan saya lemah, harus minum penguat kandungan, dan bedrest total selama 2-3 minggu.

Untuk yang terakhir saya agak shock. Bagaimana mungkin saya bisa minta izin untuk bedrest berminggu-minggu, sedangkan murid-murid saya hampir semuanya diambang ujian. Jadilah saya ambil jalan tengah, saya tetap berangkat mengajar (secara fisik, pekerjaan mengajar privat ini cukup ringan), tetapi sepulang mengajar saya bedrest total.

Tak ada satu pun pekerjaan rumah tangga yang saya pegang. Makanan beli, cucian di laundry, rumah hanya disapu seminggu sekali, dan piring dicuci oleh suami.

Bedrest total berjam-jam setiap hari, bagi saya sangatlah membosankan. Mau membaca buku, tidak ada buku baru. Hanya buku peninggalan zaman kuliah dulu, yang sebagian halamannya sudah menguning dan menempel rapat terkena banjir. Akhirnya saya jatuh ke pelukan smartphone. Fasilitas internetnya terutama. Saya menjelajah dan mencari informasi apa pun yang menarik perhatian saya lewat internet di HP. Maklum, tidak ada TV juga.

Saat itulah saya mulai “ngeh” dengan dunia blogging. Ada sejumlah orang yang menyediakan waktunya untuk menuliskan hal yang bermanfaat untuk kemudian dibagikan kepada orang banyak, sehingga orang lain pun bisa memetik manfaat dari apa yang ditulisnya. Walaupun yang ditulisnya hanya sharing pengalaman dan tidak harus ilmu-ilmu yang berat dan serius. Buat saya ini sangat keren. Seseorang yang bedrest total seperti saya saja sampai mendapat banyak informasi dari hasil tulisan mereka. Mantap.

SAKIT GIGI


Sakit gigi ini terjadi waktu trimester I. Saya memang memiliki masalah gigi dengan beberapa gigi geraham yang berlubang kecil, namun belum sempat saya tambal. Karena jarang-jarang kambuh sakitnya, maka membuat saya abai untuk segera menambalnya.

Idealnya memang sebelum hamil, kita melakukan serangkaian persiapan sehingga ketika hamil, tubuh seorang ibu berada dalam kondisi sangat fit dari berbagai aspek. Namun karena saat itu usia saya sudah hampir 30 tahun, maka saya berpikir, jika harus membereskan ini dan itu dulu, kapan hamilnya?

Akhirnya saya nekad untuk hamil dalam kondisi yang tidak terlalu sempurna, namun cukup prima. Dan diawal kehamilan, sakit gigi yang biasanya tidak pernah kambuh, mendadak jadi kambuh. Berhubung dalam kondisi hamil, saya tidak berani minum obat-obatan. Saya hanya menjaga kebersihan gigi saja dan berkumur dengan air garam.

Yang paling menyiksa itu saat makan. Karena satu-satunya tugas ibu hamil muda selain istirahat kan cuma makan. Lalu bagaimana saya bisa melaksanakan tugas makan itu dengan baik kalau alat untuk memproses makanannya sakit?

Tapi memang dasar sakit gigi ini kambuhan, lama-kelamaan hilang sendiri menjelang trimester II. Dan hilang sama sekali sampai saatnya melahirkan. Alhamdulillah saya bisa makan dengan tenang. Yang penting hindari stress, karena saya yakin, stress diawal kehamilan dulu jugalah yang berkontribusi pada kambuhnya sakit gigi saya. Biasanya sebelum hamil juga demikian, sakit gigi suka kambuh kalau saya stress.

NYERI TELINGA


Nyeri telinga terjadi sewaktu trimester II. Entah mengapa tiba-tiba telinga kanan saya terasa sakit seperti tertekan. Pendengaran saya juga jadi ikut berkurang. Saya sih curiga ini ulah minyak serumen telinga yang memadat dan mengeras, lalu menekan dinding dalam telinga yang sensitif sehingga terasa nyeri dan menghalangi pendengaran. Tentu saja hal ini sangat-sangat mengganggu. Saya jadi lebih emosional karena nyeri tersebut.

Beberapa tahun lalu saya pernah terhalang pendengaran juga karena padatan minyak serumen. Tapi tidak nyeri, hanya terhalang pendengaran saja. Mungkin karena saat itu saya tidak hamil. Kalau sekarang kan hamil dan tubuh saya menggendut, jadi mungkin saluran dalam telinga menyempit atau dinding dalam telinga jadi lebih sensitif. Minyak serumen saya memang tipe yang kering dan memadat.

Akhirnya selama 3 hari saya rutin meneteskan baby oil ke telinga untuk melunakkan padatan serumen, hari keempat, semua serumen itu sukses saya bersihkan dengan alat pembersih telinga. Fiuhh… lepas sudah penderitaan saya. Hehehe… nyeri hilang dan pendengaran normal kembali.

FLU


Selama hamil, sempat dua-tiga kali saya terkena flu. Tentunya saya tidak berani sembarangan minum obat. Dengan bermodalkan istirahat, makan makanan hangat, memperbanyak bumbu bawang putih di tiap masakan, dan tidak terlalu dipikirkan, alhamdulillah flu selalu lenyap tanpa harus minum obat. Ajaibnya, selama hamil, flu yang saya alami lebih cepat sembuh dari pada flu yang saya alami ketika tidak hamil.

ASMA


Asma adalah alergi yang baru saya dapat di usia ke-20. Biasanya asma atau sesak nafas ini akan kambuh saat saya stress, sakit flu, kontak dengan debu barang, dan cuaca yang terlalu panas atau dingin. Semenjak beberapa tahun terakhir, asma ini sudah tidak pernah kambuh. Tetapi bukan berarti saya tidak berpotensi untuk kambuh lagi.

Yang menjadi kekhawatiran saya adalah kalau asma ini kambuh saat persalinan. Wah… repot dong. Saya kan punya keinginan untuk melahirkan normal. Masak mengejan sambil sesak nafas… hehehe… mana seru.

Yah… akhirnya tidak ada yang bisa saya lakukan selain pasrah dan rileks, mencoba berpikir positif bahwa semua akan normal dan baik-baik saja, dan menghindari semua pencetus asma. Alhamdulillah… selama hamil, cuma sekali asma saya kambuh karena kelelahan di trimester III. Itu pun hanya sesak ringan saja, cukup punggung digosok dengan minyak kayu putih, beres.

Saat melahirkan, asma tidak kambuh sama sekali.

HEMOROID


Hemoroid adalah penyakit keturunan di keluarga saya. Mungkin karena faktor makanan juga selain faktor genetik. Tapi saya pribadi sudah berdamai dengan masalah ini dan hidup berdampingan dengan baik dengan hemoroid.

Saya menghindari makanan pedas, banyak asupan sayur dan buah, banyak asupan cairan, dan jangan mengangkat beban terlalu berat.

Tapi kalau hamil, mana mungkin?!

Betul. Kehamilan adalah beban fisik tersendiri bagi ibu hamil. Ibu hamil yang tidak punya hemoroid saja bisa jadi ada hemoroid karena kehamilan, apalagi ibu hamil yang sudah punya hemoroid. Maka di trimester ke III, keluhan saya yang satu ini mulai muncul, saat beban rahim mulai berat.

Sebenarnya saya tidak masalah dengan hemoroid dan nyerinya. Insya Allah saya siap. Yang saya khawatirkan itu kalau hemoroid sampai menghalangi saya untuk melahirkan secara normal. Oh.. No!

Akhirnya, seperti menghadapi asma, cukup dibawa santai, pasrah, tidak perlu mikir yang berat-berat, dijalani saja. Alhamdulillah… hemoroid dan persalinan normal berjalan berdampingan alias tidak masalah melahirkan normal dengan hemoroid yang masih grade rendah. Beberapa waktu setelah melahirkan, hemoroid pun normal kembali.

JATUH


Selama hamil, saya sempat 2 kali jatuh, yaitu sewaktu trimester II dan III, dimana saya sudah tidak lagi bedrest. Eittt… tenang dulu, kawan… Jatuh yang saya maksud disini sebenarnya bukan benar-benar jatuh gedebuk dari posisi berdiri sampai terjerembab ke tanah. Jatuh yang saya maksud adalah jatuh tanpa sengaja dari posisi duduk di jongkok/ dingklik/ jojodog/ bangku kecil yang biasa saya pakai untuk mencuci pakaian di kamar mandi, ke lantai. Tingginya tidak lebih dari 1 jengkal.

Peristiwanya biasa saja. Saya pun tidak menganggap kejadian itu sebagai kondisi jatuh. Tapi keesokan harinya, baru saya sadar, kalau kejadian itu berdampak cukup signifikan. Seluruh bagian belakang saya nyeri hebat, sampai-sampai saking nyerinya, saya jadi tidak bisa berjalan. Wah… gawat… saya asli cuma bisa berbaring dan duduk. Seolah-olah kaki saya tidak mampu lagi menyangga badan untuk berdiri. Haduuuh… pingin nangis rasanya…

Nyeri karena jatuh yang pertama berhasil pulih dengan dipijat oleh tukang pijat (beliau tidak memijat perutnya loh ya, hanya alat gerak). Nyeri karena jatuh yang kedua berhasil pulih dengan dipijat sendiri (karena tukang pijatnya tidak kunjung datang sebab kebanjiran order). Alhamdulillah sembuh…

Akhirnya semenjak itu suami saya mengganti jongkok saya dengan kursi kecil yang lebih kokoh dan tidak menyebabkan saya jatuh lagi.

KESEMUTAN


Kesemutan ini terjadi di trimester III. Seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk kedua telapak tangan saya. Rasanya? Jangan ditanya. Satu jarum saja menusuk sudah sakit, apalagi ribuan jarum. Saya jadi susah beraktivitas. Trimester II yang indah dan hampir tanpa masalah dimana saya sudah agak bebas beraktivitas, ternyata harus berakhir.

Saya sulit menggenggam, karena rasanya nyeri dan mengganggu sekali. Mencuci piring, menyapu, menulis dengan bolpoin, susah. Saya sudah berupaya merendamnya dengan air hangat dan memijatnya, supaya aliran darah lancar, tapi rasa nyerinya hanya hilang sesaat. Selanjutnya kembali nyeri. Hufff…

Suatu hari di bulan ke-8 kehamilan, saya sudah tidak tahan lagi dengan nyerinya, akhirnya saya konsultasi ke dokter. Hasilnya, saya harus bersabar sampai anak saya lahir, baru bisa diberikan obat, sekarang cukup diberi vitamin untuk beberapa hari saja. Oooh… tidaaaakk…

Dan… ajaibnya, setelah Dova lahir, kesemutan itu… Sim salabim! Hilang!

NYERI SENDI


Nyeri sendi terjadi di pergelangan tangan. Tantangan ini datang bersamaan dengan kesemutan. Saya jadi sulit mengangkat beban yang agak berat. Kegiatan seperti mengangkat tumpukan piring sehabis makan, mengangkat tumpukan baju sehabis disetrika, menenteng belanjaan, menjadi terganggu.

Hanya saja, kalau kesemutan langsung hilang tidak lama setelah Dova lahir, tidak demikian dengan nyeri sendi di pergelangan tangan. Nyeri sendi hilangnya 2 atau 3 bulan pascasalin. Dengan rutin dipijat sendiri setiap hari. Mungkin ini terjadi karena tubuh saya mengalami penambahan beban selama kehamilan.

Jadi ketika memandikan baby Dova, saya sangat hati-hati karena tangan saya terasa sakit menahan berat badan dan gerakan-gerakan si bayi yang lincah itu. Maklumlah, saya melakukan semua perawatan bayi sendirian, karena waktu itu ibu saya sakit dan suami saya belum berani memandikan bayi. It’s okay… kan memang I’m a nurse mommy…

KAKI BENGKAK


Nah, yang ini muncul di trimester III. Terutama kalau lama berdiri atau kaki menggantung saat duduk di kursi. Itu punggung kaki gendutnyaaa… minta ampun… Sampai-sampai alas kaki saya tidak ada lagi yang muat. Kaki saya seperti mengalami pemuaian panjang, luas, dan volume sekaligus. Khekhekhe…

Rasanya juga sangat tidak nyaman, ada sedikit pegal dan nyeri. Semenjak kaki mulai bengkak, saya kemana-mana pakai sandal jepit. Termasuk bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara pas hari lebaran. Karena cuma itu yang muat di kaki dan nyaman dipakai.

Untuk masalah yang ini, saya juga berterimakasih kepada murid-murid saya yang sudah mengizinkan saya untuk duduk bersila di kursi atau duduk di lantai selama mengajar. Hal ini tentu saja untuk menghindari berdiri lama dan kaki menggantung.

Salut untuk kawan-kawanku perawat dan kawan-kawanku perempuan bekerja yang hamil tapi tetap bertugas. Pasti kawan-kawanku semua banyak berdiri ya. Kalau saya ada di posisi kalian, belum tentu saya mampu sekuat kalian. Love you sisters!

MOOD SWING


Mood swing atau naik turunnya mood dan sensitifnya perasaan sewaktu hamil, paling parah saya alami di trimester I. Korbannya siapa lagi kalau bukan suamiku tercinta. Hahaha… Maafkan aku ya, sayang. Aku tidak bermaksud menzolimimu sedemikian rupa. Hanya, entah mengapa, pada saat itu aku mudah sekali bad mood.

Kenangan saya soal mood swing ini salah satunya adalah tragedi mie aceh. Saya sih sewaktu hamil sebenarnya tidak ada istilah ngidam. Kalau saya menginginkan makanan tertentu, ya kepingin saja. Kalau kebetulan ada ya alhamdulillah, kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Bukan masalah.

Suatu hari, saya yang bawaannya mual aja seharian, kepingin makan mie aceh. Saya membayangkan, mie aceh yang panas dan full rempah itu pasti enak banget kalo dimakan, pasti enggak bikin mual nih. Jadilah saya merengek pada suami untuk minta dibelikan mie aceh malam itu. Seperti biasa, suami saya yang baik hati itu langsung menghidupkan motor, dan kami pun berangkat cari mie aceh. Setelah sampai di tempat tujuan, memesan, menunggu sebentar, dan membayar, dua bungkus mie aceh pun siap kami bawa pulang.

Di tengah perjalanan, suami rupanya juga ngidam. Beliau ngidam telur asin. Sayangnya, telur asin malam itu, entah mengapa, sold out. Jadilah malam itu kami keliling ke seantero Bintaro dan sekitarnya, mendatangi belasan warteg dan rumah makan, untuk mencari telur asin yang tidak kunjung ketemu. Sampai di rumah, kekesalan saya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, dikarenakan selera makan saya sudah hilang dan… tentu saja mie aceh saya sudah dingin.

“ Kan, bisa dipanasin, sayang… ga usah nangis atuh… masih bisa dipanasin, honey… “

Whaattt???!! Sejak kapan saya makan mie aceh hasil dipanasin? 

Kesannya kayak mie aceh yang enggak habis kemarin, trus dipanasin gitu… Kayak bukan fresh mie gitu… Heuuuu…. Akhirnya mie acehnya enggak jadi saya makan. Baru besok pagi dimakan setelah dipanasin.


Kalau diingat-ingat sekarang, ya ampuuun… come on mom… it’s not a big deal… Tapi waktu itu, rasanya sesuatuuu banget. Hehehe…

Demikianlah...

Itulah beberapa tantangan selama saya hamil Dova kemarin. Masih belum seberapa sih kalau dibandingkan dengan tantangan yang hadir saat saya melahirkan dan menyusui. Tapi lumayanlah, sebagai pemanasan untuk tantangan berikutnya.

Setiap kehamilan pasti punya tantangan. Ada yang tantangannya ringan, sedang, sampai berat. Mudah-mudahan bagaimanapun tantangan yang pernah kita rasakan ketika hamil, tidak membuat kita trauma untuk hamil kembali, dan tetap gembira menyambut dan menjalani kehamilan anak berikutnya.

Mengetahui begitu banyaknya kemungkinan tantangan yang muncul pada wanita hamil, mudah-mudahan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang memiliki pegawai wanita yang sedang hamil, bisa punya kebijakan khusus yang ramah ibu hamil. Sehingga ibu hamil bisa tetap produktif, tetapi tidak mengabaikan kesehatan janin dan dirinya sendiri.


Begitu juga fasilitas umum...

Mudah-mudahan semakin banyak fasilitas umum yang ramah ibu hamil. Alhamdulillah, selama hamil, saya selalu mendapat tempat duduk di kursi prioritas kereta api commuterline. Kalau kereta penuh, ada saja penumpang lain yang suka rela berdiri dan memberikan kursinya buat saya, serta para petugasnya juga tanggap mencarikan kursi bagi ibu hamil.

Mari kita ciptakan pengalaman hamil yang menyenangkan dan tidak traumatis. Sehingga dari ibu-ibu yang bahagia, bisa terlahir anak-anak generasi penerus bangsa yang juga gembira dan berkarakter positif.


Tangerang, Februari 2017

*Sesuai janji saya kepada Dova, untuk menuliskan cerita sewaktu saya mengandungnya*

Selasa, 14 Februari 2017

MENJINAKKAN BADAI POSTPARTUM




Seorang kawan mengatakan...

"Saya depresi. Saya merasa tidak berguna. Tidak berharga. Saya gagal memberi ASI eksklusif karena ASI saya yang melimpah ruah tiba-tiba menyusut karena minum godokan sirih buatan nenek. Saya kadang tidak sempat memasak karena kerepotan mengurus anak, padahal anak saya baru satu. Cucian sering numpuk. Rumah berantakan. Saya tidak bisa mengurus orang tua yang sekarang sedang sakit karena saya harus mengurus anak yang masih kecil. Menginap di rumah orang tua juga percuma, karena saya tidak bisa merawat orang tua. Saya gagal menjadi ibu, anak, dan istri."

* * * * *

Saya jadi teringat pengalaman sendiri sewaktu menyusui Dova dulu...

Sesaat sebelum saya melahirkan, ibu saya masuk ICU karena serangan jantung. Dalam kondisi pembukaan satu, saya wira-wiri mengurus administrasi dan cari kamar ICU di rumah sakit. Lima hari setelah melahirkan, saat saya mulai menyusui, ibu saya selesai dirawat dan kembali ke rumah. Ibu harus bedrest total karena tubuhnya masih amat sensitif dan gampang kambuh. Segalanya harus dilakukan ibu di tempat tidur. Tidak ada ART. Bisa dibayangkan betapa repot dan tertekannya kondisi saat itu.

Yang jelas, langkah pertama yang saya lakukan saat itu adalah menarik nafas panjang dan istighfar. Saya berusaha menjaga pikiran saya untuk tetap jernih dan sehat.

Kembali tinggal di rumah orang tua

Selanjutnya saya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah orang tua, agar saya bisa memantau anak, orang tua, dan adik yang masih kecil sekaligus. Pilihan yang berat memang. Mengingat saya dan suami telah sepakat untuk hidup mandiri terpisah dari orang tua setelah menikah. Namun apa mau dikata? Anak perempuan hanya daku seorang. Dua saudara laki-laki saya yang sudah dewasa, setiap hari bekerja dari pagi sampai malam. Begitu juga ayah. Tidak ada yang bisa merawat ibu dan adik saya yang masih SD di rumah. Saya dan suami berusaha ikhlas dan menganggap ini adalah bagian dari perjalanan hidup kami yang harus dilewati.

Sepekan post partum 

Jadilah saya enam hari post partum mulai memasak. Memasak makanan untuk pasien jantung dan DM yang rendah lemak, rendah glukosa, rendah garam, tidak digoreng dan hanya dikukus atau direbus. Sedangkan untuk makanan keluarga saya selalu menggunakan metode 'one dish meals', yaitu dalam satu masakan sudah ada sayur dan proteinnya. Cara memasaknya pun hanya direbus atau ditumis saja supaya gampang dan cepat. Semua itu saya lakukan di pagi hari saat bayi saya tidur. Kadang-kadang kalau ia terbangun, terpaksa kegiatan memasak harus diselingi sesi menyusui dulu. Saat memasak tentu dalam posisi berdiri, karena saya belum bisa duduk disebabkan jahitan yang belum sembuh.

Dua pekan postpartum

Empat belas hari postpartum, saya mulai mengantar ibu kontrol balik ke dokter jantung. Saya mulai bisa duduk miring di ruang tunggu rumah sakit. Hari itu saya meninggalkan Dova dari siang sampai malam untuk pertama kalinya, dengan peninggalan ASIP yang cuma seuprit. Dova ditinggal bersama ayahnya, dan itu pun ayahnya telpon-telpon terus. Ayahnya Dova panik, "Honey, kapan pulang? masih lama antriannya? ini Dova nangis..."

Tiga pekan postpartum

Tiga pekan postpartum saya mulai pergi belanja ke pasar dibonceng motor. Tetangga melihat saya melintas sambil bengong dan geleng-geleng kepala. Saya ke pasar sebab mendapat kabar gembira, bahwa sejumlah keluarga mau datang menjenguk Dova dan sejumlah kawan ibu mau menjenguk ibu yang sakit. Saya merasa perlu menghidangkan suguhan bagi mereka, meski sederhana. Jadilah kami menyambut tamu seadanya, dengan ayam gulai (atau ayam woku, ya? lupa... pokoknya ayam), tumis buncis, dan bakwan jagung. Yummmyy...

Satu setengah bulan postpartum

Satu setengah bulan postpartum, ibu saya serangan jantung kedua, dan harus dirawat kembali di rumah sakit. Saat itu saya sudah aktif mengajar privat. Jadilah saya tiap tengah malam pompa ASI, tidur sebentar, pagi memasak untuk keluarga, siang besuk ibu, sore mengajar, dan malam hari baru menyusui Dova lagi sampai tertidur larut malam. Dova tidur, saya pompa ASI lagi untuk persediaan besok. Tidak banyak hasilnya. Tapi cukuplah. Saya minta si mbak (yang jaga Dova kalau saya kerja), untuk hemat-hemat kasih ASIPnya. Kalau Dova nangis, jangan langsung dikasih ASIP, tapi coba bujuk pakai usaha yang lain dulu. Begitu triknya setiap hari.

Untuk masalah jumlah ASI, saya tidak pernah memantang jenis makanan atau minuman apa pun karena khawatir ASI surut. Bagi saya, selama makanan atau minuman itu alami dan sehat, tidak ada satu jenis makanan atau minuman pun yang bisa menyebabkan ASI surut. Yang menyebabkan ASI surut itu justru pola pikir yang merasa tidak mampu memberi ASI, merasa ASInya kurang, stres, dan kelelahan fisik. Kalau seandainya ada jenis makanan yang bisa menyebabkan ASI surut drastis, pasti sudah sejak lama dianjurkan oleh tenaga kesehatan untuk ibu-ibu yang mau menyapih anaknya. Bahkan relaktasi setelah berbulan-bulan berhenti menyusui saja masih memungkinkan. Jadi, melihat kenyataan bahwa saya tipe ibu-ibu yang ASInya enggak melimpah, saya berusaha santai saja dan tidak pernah memikirkan soal ASI surut. Saya patok di pikiran saya, ASI saya baru surut nanti, kalau Dova sudah berusia 3 tahun dan tidak butuh ASI lagi.

Dua bulan postpartum

Dua bulan postpartum, ibu serangan jantung lagi untuk yang ketiga kalinya. Ceritanya juga hampir sama. Saya juga harus mengurus adik yang kelas 5 SD, dan membantunya belajar untuk mencicil persiapan UN tahun depan, karena ibu sudah tidak bisa lagi dibebani pikiran yang berat-berat waktu itu. Bukan rahasia lagi kalau mengajar anak-anak adalah energi besar. Bukan hanya harus menguasai materi pelajaran yang levelnya anak sekarang udah di-up, tapi juga menghadapi mood dan karakter si anak yang seringkali ajaib. Hehehe...

Saat ibu sudah kembali ke rumah pasca perawatan, saya harus pintar-pintar mengatur waktu. Pagi memasak, pagi menjelang siang menyusui, siang menyediakan makanan dan obat ibu yang masih bedrest, sore mengajar, malam sepulang mengajar memandikan ibu on the bed, mendengarkan keluh-kesahnya sambil menyusui, begitu anak tertidur saya langsung tancap gas pompa ASI lagi. Kurang tidur? jangan ditanya. Pasti. Hehehe. Hampir semua emak-emak yang punya bayi pasti kurang tidur. Biasanya saya tidur siang sejenak (30 menit sampai 1 jam) sebelum berangkat mengajar. Pernah suatu kali Dova begadang semalaman sampai pagi, sedangkan saya ada kelas pagi, dengan berat hati... oh maafkan aku anakku, saya konsumsi kopi pas mengajar. Tidak banyak sih, cuma dua teguk. Tapi lumayan, langsung cengharrr. Saya bukan penyuka kopi dan lambung saya sensitif kopi... tapi agar tercipta win-win solution, saya sedikit melanggar. Dikit aja kok... khikhikhi...

Waktu demi waktu berlalu

Waktu demi waktu berlalu, sampai akhirnya Dova lulus ASI eksklusif walaupun ASI emaknya yang cuma seuprit-seuprit, tapi Dova tidak ada masalah dalam berat badan dan perkembangan. Neneknya juga perlahan-lahan mulai pulih kembali. Setelah itu rutinitas saya bolak-balik RS nganter ibu kontrol, bolak-balik puskesmas untuk memperbaharui surat rujukan BPJS (pengguna setia BPJS... aseeek...), mengajar, dan tidak lupa bahagia.

Rumah berantakan

Urusan rumah berantakan bukan prioritas saya. Saya merelakan rumah berantakan untuk sementara waktu. Saya hanya beberes seminggu sekali. Untuk hal itu saya sudah izin sama suami tercinta dan beliau mengerti. Malah kadang suka bantu saya beberes, tapi ala dia... hehehe..

Tidak sempat memasak

Sekarang ibu sudah bisa memasak lagi, jadi memasak juga bukan prioritas saya, kecuali makanan Dova. Soalnya Dova lagi aktif-aktifnya dan berisiko accident. Tambahan lagi, Dova ga mau lepas dari saya...beeuuhh... Urusan kerepotan mengurus anak memang tidak selalu soal jumlah anak, tetapi juga tingkat ketergantungan anak pada kita. Mengasuh anak 1 tidak selalu lebih ringan dari mengasuh anak 3. Yang anak 1 mungkin tingkat ketergantungannya tinggi dan yang anak 3 mungkin sudah lebih mandiri. Ibu saya dulu anak 3 tapi masih sempat ini itu karena anaknya kalem. Sekarang saya anak 1 tapi repotnya minta ampun karena aktif banget. Jadi saya tidak pernah membanding-bandingkan kondisi saya dengan ibu-ibu lain.

Cucian numpuk

Cucian numpuk, sesuai saran suami, cucian dewasa yang berat-berat kita kirim aja ke laundry. Tidak usah ambil pusing dengan hasil kerja laundry yang kurang memuaskan karena dicuci dengan sentuhan mesin. Yang penting saya bisa rileks. Itu satu-satunya senjata saya buat booster ASI. Rileks. Untuk cucian anak, saya cuci dan setrika sendiri. Setrikanya tidak perlu rapi-rapi amat, yang penting kuman mati. Kecuali baju anak yang buat pergi, baru deh agak rapian dikit.

Alhamdulillah... badai postpartum saya telah berlalu kawan...



Anak saya sudah lulus ASI 2 tahun plus, ibu saya sudah bisa hidup normal kembali dan seneng banget kalo diajak piknik, khikhikhi... adik saya sudah lulus UN dengan nilai sangat memuaskan rata-rata sembilan koma (mengalahkan saya waktu Ebtanas dulu) dan masuk SMP yang diidam-idamkannya (SMP saya dulu loh...yeaaayyy!!)

Bersyukur kepada Allah yang selalu menyabarkan dan menguatkan hati saya, dan selalu menemani saya di berbagai kondisi serta fase dalam hidup saya.

Berterimakasih kepada suami yang selalu setia menemani dalam senang maupun susah. Thanx for susu ultra coklatnya, yoghurt, susu kedelai, traktiran makan capcay sepulang ngajar, pijatannya, jalan-jalan refreshingnya, bantuannya jaga Dova meski panikan, perhatiannya, pengertiannya, enggak banyak nuntutnya, mencintai dan menerimaku apa adanya. Love you, my great husband.

Thanx to all my family member, buat segala dukungannya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Thanx to all my friends, buat segala bantuannya, baik langsung maupun tidak langsung. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kaliaaaann...

Dari dulu, postpartum blues itu adalah target saya untuk cepat dilewati dengan baik. Pertama kali dapat kuliah tentang ini dulu, saya langsung bertekad, Ya Allah... saya enggak mau postpartum blues saya sampai parah dan destruktif. Kalau ada postpartum blues, harus bisa dihadapi dengan baik dan konstruktif. Alhamdulillah, doa saya terkabul.

Kisah ibu-ibu Palestina



Salah satu hal yang selalu saya ingat adalah ibu-ibu di Palestina yang harus melahirkan dan menyusui dalam kondisi perang dan kematian anggota keluarga di mana-mana. Suami meninggal... orang tua meninggal... anak meninggal... Seringkali ibu-ibu itu harus melahirkan anak dengan jasad suami terbujur di hadapannya. Anak-anak yang mereka lahirkan prematur pula. Saya kira kondisi mereka jauh lebih parah dan rentan depresi. Kondisi saya masih jauh lebih baik.

Menjalani masa-masa postpartum yang normal saja sudah berat, apalagi postpartum dengan aneka tambahan peristiwa pengiring. Tetapi mengingat ada orang-orang yang kondisinya jauh lebih berat dari kita, seperti kisah ibu-ibu Palestina tadi, setidaknya bisa menjaga pikiran saya untuk tetap berada di tempat yang seharusnya, di garis normal. Kalau pun kita memutuskan untuk berobat pada ahlinya dalam rangka menghalau post partum blues, tetap dibutuhkan upaya mandiri dari dalam diri kita sendiri untuk keluar dari depresi.

Karena hidup tidak selalu ideal. Berdamai dengan segala kekurangan akan jauh lebih baik dari pada memaksakan untuk ideal tetapi tertekan dan depresi. Sementara senyum dan kebahagiaan kita sangat dibutuhkan oleh anak, suami, orang tua, dan keluarga kita.

* * * * *

Seharusnya kawanku itu tidak perlu merasa gagal, karena perjalanan kita sebagai seorang ibu, istri, dan anak belum berakhir. Tetap semangat, kawan!


Salam sayang