Minggu, 19 Maret 2017

PERAWAT, TENAGA KESEHATAN, DAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK

NURSE AND THERAPEUTIC COMMUNICATION

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke dua rumah sakit milik pemerintah. Yang pertama untuk mengantar ibu berobat penyakit X dan yang kedua untuk mengantar ayah berobat penyakit Y.

Pada dua kesempatan itu, dengan amat menyesal, saya terpaksa membawa anak saya serta, karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Menitipkan anak pada orang lain juga bukan perkara mudah. Selain tidak terbiasa, anak batita saya juga termasuk anak yang sulit dekat dengan orang baru. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu kesehatan, saya paham betul risikonya membawa anak ke rumah sakit. Tapi saya, pada situasi saya, tidak punya pilihan lain.

Di rumah sakit pertama, seorang perawat menegur saya,
" Ibu, anaknya sakit apa? Oh, disini tidak boleh membawa anak kalau bukan anaknya yang sakit. Karena bahaya buat si anak. Ini rumah sakit bu, bukan mall! ", ujarnya dengan nada tinggi dan sikap arogan.


Di rumah sakit kedua, seorang perawat juga menegur saya,
" Ibu, anaknya sakit apa? Oh, disini tidak boleh membawa anak kalau bukan anaknya yang sakit. Ibu, infeksi saya di sini tinggi sekali, lho... kasihan anaknya.", dengan nada rendah dan suara lembut.


Peringatan dari tenaga kesehatan seperti itu, sudah dapat saya prediksi sejak saya berangkat dari rumah. Tetapi akan seperti apa bentuk peringatannya, itu benar-benar surprise.

Teguran pertama sangat tidak mengenakkan, sekalipun saya salah. Saya merasa dihardik dan dipojokkan. Dengan membawa anak ke rumah sakit yang ber-AC, bukan berarti saya sebodoh itu dengan menganggap rumah sakit sama dengan mall.

Teguran yang kedua sangat mengenakkan dan mengedukasi, sehingga saya makin sadar dan malu, karena saat itu saya memang benar-benar salah. Perawat itu hanya menjelaskan fakta, bahwa kondisi rumah sakit tidak baik untuk anak. Tidak ada kalimat yang memojokkan. Saya merasa masih menjadi manusia yang punya martabat. Salut dan bangga saya pada petugas tersebut.

Kedua teguran yang saya alami tentu saja tujuannya sama-sama baik. Saya yakin tak ada satu pun tenaga kesehatan yang bertujuan buruk kepada pasiennya, karena saya pun seorang tenaga kesehatan. Tetapi untuk masalah cara penyampaian, ini sesuai dengan yang saya pelajari dahulu di kampus, butuh skill dan teknik tersendiri, butuh pengalaman, butuh latihan, dan butuh diri kita sendiri untuk menghadirkan bentuk komunikasi yang baik antara perawat dengan klien.

Komunikasi terapeutik yang saya pahami adalah model komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien/klien dan keluarganya, yang bertujuan untuk membuat nyaman dan mengefektifkan penyampaian informasi (pendidikan kesehatan) sehingga perawatan kesehatan akan berhasil.

Jika ada model komunikasi dengan petugas kesehatan, dimana pasien dan keluarganya merasa tidak nyaman, sehingga informasi yang disampaikan menjadi tidak efektif, buat saya komunikasi itu belum terapeutik.

Tulisan ini saya buat bukan untuk "menyerang" kawan-kawan sejawat, tetapi hanya sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, manakala saya kelak bertugas sebagai perawat. Saya harus melatih kembali kemampuan untuk berkomunikasi dengan klien secara terapeutik, agar klien saya tak perlu merasakan pengalaman buruk yang pernah saya rasakan. Dan yang pasti, agar klien lekas pulih dari sakitnya, karena seringkali komunikasi dengan petugas kesehatan menjadi separuh dari terapi.

HEALTH PROFESSIONALS AND THERAPEUTIC COMMUNICATION


Pengalaman terkait masalah komunikasi terapeutik ini juga pernah saya alami ketika saya berhubungan dengan tenaga kesehatan lain selain perawat. Sebut saja dokter, dokter gigi, dan bidan. Diantara rekan-rekan tenaga kesehatan yang punya kempampuan komunikasi yang bagus, masih ada saja terselip beberapa oknum tenaga kesehatan yang pola komunikasinya tidak terapeutik kepada pasien.

Kalimat-kalimat seperti:

" Ibu, kalau ibu memang pintar, silakan obati saja diri ibu sendiri! "
*** ini diucapkan oleh oknum tenaga kesehatan lain selain perawat, di salah satu Puskesmas


" Ibu, waktu ngelahirin aja teriak-teriak, waktu b*kinnya diem-diem. Malu tuh sama yang lahiran anak pertama tapi ga teriak-teriak. "
*** ini diucapkan oleh oknum tenaga kesehatan lain selain perawat, di sebuah rumah sakit pemerintah dan salah satu klinik


Dan perkataan-perkataan yang serupa itu dengan bahasa tubuh yang tidak memberi kenyamanan, juga pernah saya alami dan saksikan. Melihat dan mendengarnya sangatlah miris.

Tetapi syukur alhamdulillahnya, masih banyak juga rekan-rekan tenaga kesehatan yang arif dan bijaksana, yang lebih memilih kalimat-kalimat seperti:

" Ibu, kalau memang sakit, tolong angkat jarinya ya, supaya saya tahu..", ini pengalaman waktu saya ke dokter gigi.

" Ibu, kalau melahirkan sambil teriak itu nanti tenaganya habis. Sayang kan. Ayo ikuti saya, tarik nafas... hembuskan... Iya, bagus! ". Ini pengalaman melihat seorang parturien yang dibimbing oleh seorang bidan dengan sabarnya.

Alangkah bahagianya saya kalau semua tenaga kesehatan, apa pun profesinya, memiliki pola komunikasi tipe yang kedua. Rasanya baru ketemu saja dengan mereka, sudah langsung sembuh. Seolah-olah everything will be okay...

Semoga pelayanan kesehatan di Indonesia bisa lebih baik dari hari ke hari. Amin. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan.


Sumber rujukan:
Komunikasi dalam Keperawatan, Arwani, EGC, 2002