Ada pemandangan menarik ketika saya mampir belanja ke sebuah minimarket beberapa waktu lalu. Kasirnya sedang hamil, kira-kira trimester II. Wanita muda itu bekerja dalam posisi berdiri tanpa tersedia kursi di dekatnya. Setelah saya tanya, ternyata memang tidak disediakan kursi untuk kasir, karena alasan profesionalisme.
Memang benar, untuk kasir yang tidak hamil, akan lebih tampak profesional jika melayani pembeli dalam posisi berdiri. Tetapi untuk kasir yang hamil, saya kira perlu mendapat pengecualian. Saya yakin pembeli pun akan maklum dengan kondisi ini. Minimal, kursi tersedia di dekatnya, sehingga saat tidak ada pembeli, kasir tersebut bisa duduk. Sepertinya jam kerjanya umum, mungkin kira-kira 8 jam dalam satu shiftnya. Tetapi bagi seorang ibu hamil yang bekerja sambil berdiri, 8 jam itu menurut saya berat.
Sebagai seorang ibu yang pernah hamil dan pernah mendapat pendidikan kesehatan, naluri saya agak terusik. Akhirnya saya sms ke nomor pengaduan yang tertera di pintu minimarket. Intinya saya mengusulkan kepada pihak manajemen, bagaimana jika disediakan kursi bagi kasir yang hamil, setidaknya untuk beristirahat saat tidak ada pembeli. Tidak ada kabar balasan dari pihak manajemen minimarket. Mungkin karena sifatnya bukan komplain ya, tapi hanya usul. Namun saya lihat beberapa hari kemudian, kasir itu sudah tidak disana lagi. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya.
This is my first pregnancy journal...
Ngomong-ngomong soal hamil sambil bekerja, saya jadi ingat pengalaman saya sendiri sewaktu hamil Dova tiga tahun lalu. Hmmm… lumayanlah… pengalaman hamil saya tidak seringan yang saya bayangkan. Kalau saya jadi kasir itu, rasanya belum tentu sanggup. Pengalaman hamil saya diwarnai oleh sejumlah tantangan khas ibu hamil, walaupun tetap tidak menyurutkan semangat untuk menyambut kehadiran si kecil yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Selama hamil, saya menjadi sangat mudah lelah. Pekerjaan rumah tangga yang biasanya saya babat habis sepagian, jadi tidak sanggup saya kerjakan walau hanya separuhnya. Saya menjadi lambat bekerja karena mudah lelah dan harus sering-sering beristirahat.
Awalnya saya memang merasa kerepotan dengan perubahan kondisi ini, karena ada berbagai hal yang jadi tidak selesai tepat waktu. Tetapi setelah saya menyadari bahwa hal ini alami terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk menyediakan energi bagi pertumbuhan janin di dalam kandungan, saya pun mulai mengatur strategi. Hanya pekerjaan-pekerjaan prioritas saja yang saya kerjakan, selebihnya… fleksibel dan menyusul.
Mudah mengantuk terjadi paling berat di trimester I. Saya merasa cukup tidur di malam hari, namun entah mengapa selalu saja saya tertidur dan tertidur lagi siang harinya. Mudah mengantuk ini boleh dibilang agak parah, karena saya benar-benar KO dengan rasa kantuk yang hebat.
Untungnya saya ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu dan jenis pekerjaan saya juga bukan formal. Jadi untuk masalah mengantuk ini tidak terlalu mengganggu pekerjaan. Saya hanya bekerja 2-6 jam sehari, itu pun di sore hari saat tubuh saya sudah beradaptasi dengan hari. Di malam hari sepulang bekerja, jangan tanya ada berapa lembar buku yang saya baca sebagai pengantar tidur, yang ada saya sukses tidur nyenyak tanpa mukadimah sedikitpun.
PUSING
Pusing terjadi di trimester I dan II. Pusing ini cukup mengganggu, karena saya merasakan sensasi seperti berayun-ayun diatas perahu sampai sensasi berputar seperti naik komidi. Kalau dibiarkan, lama-lama bisa mengundang mual. Kalau dipaksakan berjalan atau beraktivitas, akan berisiko jatuh.
Kalau pusing ini sudah datang, saya mengalah, undur diri dari pekerjaan mulia menyiangi sayuran di dapur, dan merebahkan diri diatas kasur. Kalau ada suami, biasanya beliau yang membantu memijat kepala saya. Rasanya… hmm… nyaman sekali. Sepuluh atau lima belas menit kemudian, biasanya saya sudah tersenyum dan eksis kembali di dapur. Horeee…!!!
MUAL
Pertama kali saya merasakan mual waktu kehamilan sekitar 6 atau 7 minggu. Waktu itu saya sedang di dapur, berniat membuat sup ikan kuah asam ala Manado. Saya pikir, ikan tentu baik untuk kesehatan janin dan kuah asamnya pasti nikmat menggugah selera bumil.
Tapi apa yang terjadi kawan?
Saya keliyengan dan semaput seperti murid yang hipoglikemi saat upacara bendera hari senin. Jadilah saya terhuyung-huyung setengah berlari meninggalkan dapur menuju ruang depan. Sampai disana saya terkapar. Meninggalkan rebusan ikan full bumbu dalam panci. Rupanya saya mual mencium bau rebusan ikan yang biasanya jadi favorit saya. Semenjak itu, saya menghindari bau aneka rebusan dan bau-bauan yang menyengat lainnya.
Udara dingin juga membuat saya mual, sehingga kalau pulang mengajar dibonceng motor, saya harus memakai jaket dan pakaian yang agak tebal.
Udara yang gerah dan pengap serta kurang oksigen juga membuat saya mual. Hal ini pernah terjadi sewaktu saya pulang piknik dari Kebun Raya Bogor. Antrian tiket loket kereta api Commuterline di Stasiun Bogor minggu sore itu seperti antrian sembako murah, penuh sesak dan padat. Fiuuh… saya memilih untuk menyerahkan urusan mengantri itu pada suami saja, dan saya mengasingkan diri ke gerai donat di sebelahnya yang sejuk ber-AC.
Mual ini menetap sampai 9 bulan kehamilan, sepanjang hari tanpa mengenal waktu. Yang terberat adalah di trimester I dan II. Sampai saya mengalami penurunan berat badan. Bersyukurnya, meskipun mual-mual, saya tidak pernah muntah. Jadi makanan apa pun yang saya makan, asalkan cocok dengan selera, selalu bisa masuk.
Hanya jumlahnya tidak bisa banyak. Kalau banyak-banyak, mual juga. Jadi saya makan sedikit-sedikit tapi sering. Saya makan setiap 2 jam sekali dengan porsi kecil-kecil. Jadi mual ini hanya mengganggu proses masuknya makanan ke dalam tubuh saya saja. Tapi kalau makanan sudah berhasil masuk, biasanya tidak akan keluar lagi.
Saya mengalami flek dari minggu ke-6 sampai minggu ke-26. Flek biasanya makin parah kalau saya banyak bergerak, mengangkat beban berat, dan terkena guncangan. Untuk masalah guncangan, saya sampai membeli bantal kecil untuk diduduki sebagai peredam guncangan saat dibonceng motor. Jadi kemana-mana saya harus membawa bantal itu.
Pengalaman keguguran sebelumnya juga membuat saya was-was menghadapi tantangan yang satu ini. Hasil konsul dengan DSOG adalah: kandungan saya lemah, harus minum penguat kandungan, dan bedrest total selama 2-3 minggu.
Untuk yang terakhir saya agak shock. Bagaimana mungkin saya bisa minta izin untuk bedrest berminggu-minggu, sedangkan murid-murid saya hampir semuanya diambang ujian. Jadilah saya ambil jalan tengah, saya tetap berangkat mengajar (secara fisik, pekerjaan mengajar privat ini cukup ringan), tetapi sepulang mengajar saya bedrest total.
Tak ada satu pun pekerjaan rumah tangga yang saya pegang. Makanan beli, cucian di laundry, rumah hanya disapu seminggu sekali, dan piring dicuci oleh suami.
Bedrest total berjam-jam setiap hari, bagi saya sangatlah membosankan. Mau membaca buku, tidak ada buku baru. Hanya buku peninggalan zaman kuliah dulu, yang sebagian halamannya sudah menguning dan menempel rapat terkena banjir. Akhirnya saya jatuh ke pelukan smartphone. Fasilitas internetnya terutama. Saya menjelajah dan mencari informasi apa pun yang menarik perhatian saya lewat internet di HP. Maklum, tidak ada TV juga.
Saat itulah saya mulai “ngeh” dengan dunia blogging. Ada sejumlah orang yang menyediakan waktunya untuk menuliskan hal yang bermanfaat untuk kemudian dibagikan kepada orang banyak, sehingga orang lain pun bisa memetik manfaat dari apa yang ditulisnya. Walaupun yang ditulisnya hanya sharing pengalaman dan tidak harus ilmu-ilmu yang berat dan serius. Buat saya ini sangat keren. Seseorang yang bedrest total seperti saya saja sampai mendapat banyak informasi dari hasil tulisan mereka. Mantap.
SAKIT GIGI
Sakit gigi ini terjadi waktu trimester I. Saya memang memiliki masalah gigi dengan beberapa gigi geraham yang berlubang kecil, namun belum sempat saya tambal. Karena jarang-jarang kambuh sakitnya, maka membuat saya abai untuk segera menambalnya.
Idealnya memang sebelum hamil, kita melakukan serangkaian persiapan sehingga ketika hamil, tubuh seorang ibu berada dalam kondisi sangat fit dari berbagai aspek. Namun karena saat itu usia saya sudah hampir 30 tahun, maka saya berpikir, jika harus membereskan ini dan itu dulu, kapan hamilnya?
Akhirnya saya nekad untuk hamil dalam kondisi yang tidak terlalu sempurna, namun cukup prima. Dan diawal kehamilan, sakit gigi yang biasanya tidak pernah kambuh, mendadak jadi kambuh. Berhubung dalam kondisi hamil, saya tidak berani minum obat-obatan. Saya hanya menjaga kebersihan gigi saja dan berkumur dengan air garam.
Yang paling menyiksa itu saat makan. Karena satu-satunya tugas ibu hamil muda selain istirahat kan cuma makan. Lalu bagaimana saya bisa melaksanakan tugas makan itu dengan baik kalau alat untuk memproses makanannya sakit?
Tapi memang dasar sakit gigi ini kambuhan, lama-kelamaan hilang sendiri menjelang trimester II. Dan hilang sama sekali sampai saatnya melahirkan. Alhamdulillah saya bisa makan dengan tenang. Yang penting hindari stress, karena saya yakin, stress diawal kehamilan dulu jugalah yang berkontribusi pada kambuhnya sakit gigi saya. Biasanya sebelum hamil juga demikian, sakit gigi suka kambuh kalau saya stress.
NYERI TELINGA
Nyeri telinga terjadi sewaktu trimester II. Entah mengapa tiba-tiba telinga kanan saya terasa sakit seperti tertekan. Pendengaran saya juga jadi ikut berkurang. Saya sih curiga ini ulah minyak serumen telinga yang memadat dan mengeras, lalu menekan dinding dalam telinga yang sensitif sehingga terasa nyeri dan menghalangi pendengaran. Tentu saja hal ini sangat-sangat mengganggu. Saya jadi lebih emosional karena nyeri tersebut.
Beberapa tahun lalu saya pernah terhalang pendengaran juga karena padatan minyak serumen. Tapi tidak nyeri, hanya terhalang pendengaran saja. Mungkin karena saat itu saya tidak hamil. Kalau sekarang kan hamil dan tubuh saya menggendut, jadi mungkin saluran dalam telinga menyempit atau dinding dalam telinga jadi lebih sensitif. Minyak serumen saya memang tipe yang kering dan memadat.
Akhirnya selama 3 hari saya rutin meneteskan baby oil ke telinga untuk melunakkan padatan serumen, hari keempat, semua serumen itu sukses saya bersihkan dengan alat pembersih telinga. Fiuhh… lepas sudah penderitaan saya. Hehehe… nyeri hilang dan pendengaran normal kembali.
FLU
Selama hamil, sempat dua-tiga kali saya terkena flu. Tentunya saya tidak berani sembarangan minum obat. Dengan bermodalkan istirahat, makan makanan hangat, memperbanyak bumbu bawang putih di tiap masakan, dan tidak terlalu dipikirkan, alhamdulillah flu selalu lenyap tanpa harus minum obat. Ajaibnya, selama hamil, flu yang saya alami lebih cepat sembuh dari pada flu yang saya alami ketika tidak hamil.
ASMA
Asma adalah alergi yang baru saya dapat di usia ke-20. Biasanya asma atau sesak nafas ini akan kambuh saat saya stress, sakit flu, kontak dengan debu barang, dan cuaca yang terlalu panas atau dingin. Semenjak beberapa tahun terakhir, asma ini sudah tidak pernah kambuh. Tetapi bukan berarti saya tidak berpotensi untuk kambuh lagi.
Yang menjadi kekhawatiran saya adalah kalau asma ini kambuh saat persalinan. Wah… repot dong. Saya kan punya keinginan untuk melahirkan normal. Masak mengejan sambil sesak nafas… hehehe… mana seru.
Yah… akhirnya tidak ada yang bisa saya lakukan selain pasrah dan rileks, mencoba berpikir positif bahwa semua akan normal dan baik-baik saja, dan menghindari semua pencetus asma. Alhamdulillah… selama hamil, cuma sekali asma saya kambuh karena kelelahan di trimester III. Itu pun hanya sesak ringan saja, cukup punggung digosok dengan minyak kayu putih, beres.
Saat melahirkan, asma tidak kambuh sama sekali.
HEMOROID
Hemoroid adalah penyakit keturunan di keluarga saya. Mungkin karena faktor makanan juga selain faktor genetik. Tapi saya pribadi sudah berdamai dengan masalah ini dan hidup berdampingan dengan baik dengan hemoroid.
Saya menghindari makanan pedas, banyak asupan sayur dan buah, banyak asupan cairan, dan jangan mengangkat beban terlalu berat.
Tapi kalau hamil, mana mungkin?!
Betul. Kehamilan adalah beban fisik tersendiri bagi ibu hamil. Ibu hamil yang tidak punya hemoroid saja bisa jadi ada hemoroid karena kehamilan, apalagi ibu hamil yang sudah punya hemoroid. Maka di trimester ke III, keluhan saya yang satu ini mulai muncul, saat beban rahim mulai berat.
Sebenarnya saya tidak masalah dengan hemoroid dan nyerinya. Insya Allah saya siap. Yang saya khawatirkan itu kalau hemoroid sampai menghalangi saya untuk melahirkan secara normal. Oh.. No!
Akhirnya, seperti menghadapi asma, cukup dibawa santai, pasrah, tidak perlu mikir yang berat-berat, dijalani saja. Alhamdulillah… hemoroid dan persalinan normal berjalan berdampingan alias tidak masalah melahirkan normal dengan hemoroid yang masih grade rendah. Beberapa waktu setelah melahirkan, hemoroid pun normal kembali.
JATUH
Selama hamil, saya sempat 2 kali jatuh, yaitu sewaktu trimester II dan III, dimana saya sudah tidak lagi bedrest. Eittt… tenang dulu, kawan… Jatuh yang saya maksud disini sebenarnya bukan benar-benar jatuh gedebuk dari posisi berdiri sampai terjerembab ke tanah. Jatuh yang saya maksud adalah jatuh tanpa sengaja dari posisi duduk di jongkok/ dingklik/ jojodog/ bangku kecil yang biasa saya pakai untuk mencuci pakaian di kamar mandi, ke lantai. Tingginya tidak lebih dari 1 jengkal.
Peristiwanya biasa saja. Saya pun tidak menganggap kejadian itu sebagai kondisi jatuh. Tapi keesokan harinya, baru saya sadar, kalau kejadian itu berdampak cukup signifikan. Seluruh bagian belakang saya nyeri hebat, sampai-sampai saking nyerinya, saya jadi tidak bisa berjalan. Wah… gawat… saya asli cuma bisa berbaring dan duduk. Seolah-olah kaki saya tidak mampu lagi menyangga badan untuk berdiri. Haduuuh… pingin nangis rasanya…
Nyeri karena jatuh yang pertama berhasil pulih dengan dipijat oleh tukang pijat (beliau tidak memijat perutnya loh ya, hanya alat gerak). Nyeri karena jatuh yang kedua berhasil pulih dengan dipijat sendiri (karena tukang pijatnya tidak kunjung datang sebab kebanjiran order). Alhamdulillah sembuh…
Akhirnya semenjak itu suami saya mengganti jongkok saya dengan kursi kecil yang lebih kokoh dan tidak menyebabkan saya jatuh lagi.
KESEMUTAN
Kesemutan ini terjadi di trimester III. Seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk kedua telapak tangan saya. Rasanya? Jangan ditanya. Satu jarum saja menusuk sudah sakit, apalagi ribuan jarum. Saya jadi susah beraktivitas. Trimester II yang indah dan hampir tanpa masalah dimana saya sudah agak bebas beraktivitas, ternyata harus berakhir.
Saya sulit menggenggam, karena rasanya nyeri dan mengganggu sekali. Mencuci piring, menyapu, menulis dengan bolpoin, susah. Saya sudah berupaya merendamnya dengan air hangat dan memijatnya, supaya aliran darah lancar, tapi rasa nyerinya hanya hilang sesaat. Selanjutnya kembali nyeri. Hufff…
Suatu hari di bulan ke-8 kehamilan, saya sudah tidak tahan lagi dengan nyerinya, akhirnya saya konsultasi ke dokter. Hasilnya, saya harus bersabar sampai anak saya lahir, baru bisa diberikan obat, sekarang cukup diberi vitamin untuk beberapa hari saja. Oooh… tidaaaakk…
Dan… ajaibnya, setelah Dova lahir, kesemutan itu… Sim salabim! Hilang!
NYERI SENDI
Nyeri sendi terjadi di pergelangan tangan. Tantangan ini datang bersamaan dengan kesemutan. Saya jadi sulit mengangkat beban yang agak berat. Kegiatan seperti mengangkat tumpukan piring sehabis makan, mengangkat tumpukan baju sehabis disetrika, menenteng belanjaan, menjadi terganggu.
Hanya saja, kalau kesemutan langsung hilang tidak lama setelah Dova lahir, tidak demikian dengan nyeri sendi di pergelangan tangan. Nyeri sendi hilangnya 2 atau 3 bulan pascasalin. Dengan rutin dipijat sendiri setiap hari. Mungkin ini terjadi karena tubuh saya mengalami penambahan beban selama kehamilan.
Jadi ketika memandikan baby Dova, saya sangat hati-hati karena tangan saya terasa sakit menahan berat badan dan gerakan-gerakan si bayi yang lincah itu. Maklumlah, saya melakukan semua perawatan bayi sendirian, karena waktu itu ibu saya sakit dan suami saya belum berani memandikan bayi. It’s okay… kan memang I’m a nurse mommy…
KAKI BENGKAK
Nah, yang ini muncul di trimester III. Terutama kalau lama berdiri atau kaki menggantung saat duduk di kursi. Itu punggung kaki gendutnyaaa… minta ampun… Sampai-sampai alas kaki saya tidak ada lagi yang muat. Kaki saya seperti mengalami pemuaian panjang, luas, dan volume sekaligus. Khekhekhe…
Rasanya juga sangat tidak nyaman, ada sedikit pegal dan nyeri. Semenjak kaki mulai bengkak, saya kemana-mana pakai sandal jepit. Termasuk bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara pas hari lebaran. Karena cuma itu yang muat di kaki dan nyaman dipakai.
Untuk masalah yang ini, saya juga berterimakasih kepada murid-murid saya yang sudah mengizinkan saya untuk duduk bersila di kursi atau duduk di lantai selama mengajar. Hal ini tentu saja untuk menghindari berdiri lama dan kaki menggantung.
Salut untuk kawan-kawanku perawat dan kawan-kawanku perempuan bekerja yang hamil tapi tetap bertugas. Pasti kawan-kawanku semua banyak berdiri ya. Kalau saya ada di posisi kalian, belum tentu saya mampu sekuat kalian. Love you sisters!
MOOD SWING
Mood swing atau naik turunnya mood dan sensitifnya perasaan sewaktu hamil, paling parah saya alami di trimester I. Korbannya siapa lagi kalau bukan suamiku tercinta. Hahaha… Maafkan aku ya, sayang. Aku tidak bermaksud menzolimimu sedemikian rupa. Hanya, entah mengapa, pada saat itu aku mudah sekali bad mood.
Kenangan saya soal mood swing ini salah satunya adalah tragedi mie aceh. Saya sih sewaktu hamil sebenarnya tidak ada istilah ngidam. Kalau saya menginginkan makanan tertentu, ya kepingin saja. Kalau kebetulan ada ya alhamdulillah, kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Bukan masalah.
Suatu hari, saya yang bawaannya mual aja seharian, kepingin makan mie aceh. Saya membayangkan, mie aceh yang panas dan full rempah itu pasti enak banget kalo dimakan, pasti enggak bikin mual nih. Jadilah saya merengek pada suami untuk minta dibelikan mie aceh malam itu. Seperti biasa, suami saya yang baik hati itu langsung menghidupkan motor, dan kami pun berangkat cari mie aceh. Setelah sampai di tempat tujuan, memesan, menunggu sebentar, dan membayar, dua bungkus mie aceh pun siap kami bawa pulang.
Di tengah perjalanan, suami rupanya juga ngidam. Beliau ngidam telur asin. Sayangnya, telur asin malam itu, entah mengapa, sold out. Jadilah malam itu kami keliling ke seantero Bintaro dan sekitarnya, mendatangi belasan warteg dan rumah makan, untuk mencari telur asin yang tidak kunjung ketemu. Sampai di rumah, kekesalan saya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, dikarenakan selera makan saya sudah hilang dan… tentu saja mie aceh saya sudah dingin.
“ Kan, bisa dipanasin, sayang… ga usah nangis atuh… masih bisa dipanasin, honey… “
Whaattt???!! Sejak kapan saya makan mie aceh hasil dipanasin?
Kesannya kayak mie aceh yang enggak habis kemarin, trus dipanasin gitu… Kayak bukan fresh mie gitu… Heuuuu…. Akhirnya mie acehnya enggak jadi saya makan. Baru besok pagi dimakan setelah dipanasin.
Kalau diingat-ingat sekarang, ya ampuuun… come on mom… it’s not a big deal… Tapi waktu itu, rasanya sesuatuuu banget. Hehehe…
Demikianlah...
Itulah beberapa tantangan selama saya hamil Dova kemarin. Masih belum seberapa sih kalau dibandingkan dengan tantangan yang hadir saat saya melahirkan dan menyusui. Tapi lumayanlah, sebagai pemanasan untuk tantangan berikutnya.
Setiap kehamilan pasti punya tantangan. Ada yang tantangannya ringan, sedang, sampai berat. Mudah-mudahan bagaimanapun tantangan yang pernah kita rasakan ketika hamil, tidak membuat kita trauma untuk hamil kembali, dan tetap gembira menyambut dan menjalani kehamilan anak berikutnya.
Mengetahui begitu banyaknya kemungkinan tantangan yang muncul pada wanita hamil, mudah-mudahan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang memiliki pegawai wanita yang sedang hamil, bisa punya kebijakan khusus yang ramah ibu hamil. Sehingga ibu hamil bisa tetap produktif, tetapi tidak mengabaikan kesehatan janin dan dirinya sendiri.
Begitu juga fasilitas umum...
Mudah-mudahan semakin banyak fasilitas umum yang ramah ibu hamil. Alhamdulillah, selama hamil, saya selalu mendapat tempat duduk di kursi prioritas kereta api commuterline. Kalau kereta penuh, ada saja penumpang lain yang suka rela berdiri dan memberikan kursinya buat saya, serta para petugasnya juga tanggap mencarikan kursi bagi ibu hamil.
Mari kita ciptakan pengalaman hamil yang menyenangkan dan tidak traumatis. Sehingga dari ibu-ibu yang bahagia, bisa terlahir anak-anak generasi penerus bangsa yang juga gembira dan berkarakter positif.
Tangerang, Februari 2017
*Sesuai janji saya kepada Dova, untuk menuliskan cerita sewaktu saya mengandungnya*