Selasa, 14 Februari 2017

MENJINAKKAN BADAI POSTPARTUM




Seorang kawan mengatakan...

"Saya depresi. Saya merasa tidak berguna. Tidak berharga. Saya gagal memberi ASI eksklusif karena ASI saya yang melimpah ruah tiba-tiba menyusut karena minum godokan sirih buatan nenek. Saya kadang tidak sempat memasak karena kerepotan mengurus anak, padahal anak saya baru satu. Cucian sering numpuk. Rumah berantakan. Saya tidak bisa mengurus orang tua yang sekarang sedang sakit karena saya harus mengurus anak yang masih kecil. Menginap di rumah orang tua juga percuma, karena saya tidak bisa merawat orang tua. Saya gagal menjadi ibu, anak, dan istri."

* * * * *

Saya jadi teringat pengalaman sendiri sewaktu menyusui Dova dulu...

Sesaat sebelum saya melahirkan, ibu saya masuk ICU karena serangan jantung. Dalam kondisi pembukaan satu, saya wira-wiri mengurus administrasi dan cari kamar ICU di rumah sakit. Lima hari setelah melahirkan, saat saya mulai menyusui, ibu saya selesai dirawat dan kembali ke rumah. Ibu harus bedrest total karena tubuhnya masih amat sensitif dan gampang kambuh. Segalanya harus dilakukan ibu di tempat tidur. Tidak ada ART. Bisa dibayangkan betapa repot dan tertekannya kondisi saat itu.

Yang jelas, langkah pertama yang saya lakukan saat itu adalah menarik nafas panjang dan istighfar. Saya berusaha menjaga pikiran saya untuk tetap jernih dan sehat.

Kembali tinggal di rumah orang tua

Selanjutnya saya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah orang tua, agar saya bisa memantau anak, orang tua, dan adik yang masih kecil sekaligus. Pilihan yang berat memang. Mengingat saya dan suami telah sepakat untuk hidup mandiri terpisah dari orang tua setelah menikah. Namun apa mau dikata? Anak perempuan hanya daku seorang. Dua saudara laki-laki saya yang sudah dewasa, setiap hari bekerja dari pagi sampai malam. Begitu juga ayah. Tidak ada yang bisa merawat ibu dan adik saya yang masih SD di rumah. Saya dan suami berusaha ikhlas dan menganggap ini adalah bagian dari perjalanan hidup kami yang harus dilewati.

Sepekan post partum 

Jadilah saya enam hari post partum mulai memasak. Memasak makanan untuk pasien jantung dan DM yang rendah lemak, rendah glukosa, rendah garam, tidak digoreng dan hanya dikukus atau direbus. Sedangkan untuk makanan keluarga saya selalu menggunakan metode 'one dish meals', yaitu dalam satu masakan sudah ada sayur dan proteinnya. Cara memasaknya pun hanya direbus atau ditumis saja supaya gampang dan cepat. Semua itu saya lakukan di pagi hari saat bayi saya tidur. Kadang-kadang kalau ia terbangun, terpaksa kegiatan memasak harus diselingi sesi menyusui dulu. Saat memasak tentu dalam posisi berdiri, karena saya belum bisa duduk disebabkan jahitan yang belum sembuh.

Dua pekan postpartum

Empat belas hari postpartum, saya mulai mengantar ibu kontrol balik ke dokter jantung. Saya mulai bisa duduk miring di ruang tunggu rumah sakit. Hari itu saya meninggalkan Dova dari siang sampai malam untuk pertama kalinya, dengan peninggalan ASIP yang cuma seuprit. Dova ditinggal bersama ayahnya, dan itu pun ayahnya telpon-telpon terus. Ayahnya Dova panik, "Honey, kapan pulang? masih lama antriannya? ini Dova nangis..."

Tiga pekan postpartum

Tiga pekan postpartum saya mulai pergi belanja ke pasar dibonceng motor. Tetangga melihat saya melintas sambil bengong dan geleng-geleng kepala. Saya ke pasar sebab mendapat kabar gembira, bahwa sejumlah keluarga mau datang menjenguk Dova dan sejumlah kawan ibu mau menjenguk ibu yang sakit. Saya merasa perlu menghidangkan suguhan bagi mereka, meski sederhana. Jadilah kami menyambut tamu seadanya, dengan ayam gulai (atau ayam woku, ya? lupa... pokoknya ayam), tumis buncis, dan bakwan jagung. Yummmyy...

Satu setengah bulan postpartum

Satu setengah bulan postpartum, ibu saya serangan jantung kedua, dan harus dirawat kembali di rumah sakit. Saat itu saya sudah aktif mengajar privat. Jadilah saya tiap tengah malam pompa ASI, tidur sebentar, pagi memasak untuk keluarga, siang besuk ibu, sore mengajar, dan malam hari baru menyusui Dova lagi sampai tertidur larut malam. Dova tidur, saya pompa ASI lagi untuk persediaan besok. Tidak banyak hasilnya. Tapi cukuplah. Saya minta si mbak (yang jaga Dova kalau saya kerja), untuk hemat-hemat kasih ASIPnya. Kalau Dova nangis, jangan langsung dikasih ASIP, tapi coba bujuk pakai usaha yang lain dulu. Begitu triknya setiap hari.

Untuk masalah jumlah ASI, saya tidak pernah memantang jenis makanan atau minuman apa pun karena khawatir ASI surut. Bagi saya, selama makanan atau minuman itu alami dan sehat, tidak ada satu jenis makanan atau minuman pun yang bisa menyebabkan ASI surut. Yang menyebabkan ASI surut itu justru pola pikir yang merasa tidak mampu memberi ASI, merasa ASInya kurang, stres, dan kelelahan fisik. Kalau seandainya ada jenis makanan yang bisa menyebabkan ASI surut drastis, pasti sudah sejak lama dianjurkan oleh tenaga kesehatan untuk ibu-ibu yang mau menyapih anaknya. Bahkan relaktasi setelah berbulan-bulan berhenti menyusui saja masih memungkinkan. Jadi, melihat kenyataan bahwa saya tipe ibu-ibu yang ASInya enggak melimpah, saya berusaha santai saja dan tidak pernah memikirkan soal ASI surut. Saya patok di pikiran saya, ASI saya baru surut nanti, kalau Dova sudah berusia 3 tahun dan tidak butuh ASI lagi.

Dua bulan postpartum

Dua bulan postpartum, ibu serangan jantung lagi untuk yang ketiga kalinya. Ceritanya juga hampir sama. Saya juga harus mengurus adik yang kelas 5 SD, dan membantunya belajar untuk mencicil persiapan UN tahun depan, karena ibu sudah tidak bisa lagi dibebani pikiran yang berat-berat waktu itu. Bukan rahasia lagi kalau mengajar anak-anak adalah energi besar. Bukan hanya harus menguasai materi pelajaran yang levelnya anak sekarang udah di-up, tapi juga menghadapi mood dan karakter si anak yang seringkali ajaib. Hehehe...

Saat ibu sudah kembali ke rumah pasca perawatan, saya harus pintar-pintar mengatur waktu. Pagi memasak, pagi menjelang siang menyusui, siang menyediakan makanan dan obat ibu yang masih bedrest, sore mengajar, malam sepulang mengajar memandikan ibu on the bed, mendengarkan keluh-kesahnya sambil menyusui, begitu anak tertidur saya langsung tancap gas pompa ASI lagi. Kurang tidur? jangan ditanya. Pasti. Hehehe. Hampir semua emak-emak yang punya bayi pasti kurang tidur. Biasanya saya tidur siang sejenak (30 menit sampai 1 jam) sebelum berangkat mengajar. Pernah suatu kali Dova begadang semalaman sampai pagi, sedangkan saya ada kelas pagi, dengan berat hati... oh maafkan aku anakku, saya konsumsi kopi pas mengajar. Tidak banyak sih, cuma dua teguk. Tapi lumayan, langsung cengharrr. Saya bukan penyuka kopi dan lambung saya sensitif kopi... tapi agar tercipta win-win solution, saya sedikit melanggar. Dikit aja kok... khikhikhi...

Waktu demi waktu berlalu

Waktu demi waktu berlalu, sampai akhirnya Dova lulus ASI eksklusif walaupun ASI emaknya yang cuma seuprit-seuprit, tapi Dova tidak ada masalah dalam berat badan dan perkembangan. Neneknya juga perlahan-lahan mulai pulih kembali. Setelah itu rutinitas saya bolak-balik RS nganter ibu kontrol, bolak-balik puskesmas untuk memperbaharui surat rujukan BPJS (pengguna setia BPJS... aseeek...), mengajar, dan tidak lupa bahagia.

Rumah berantakan

Urusan rumah berantakan bukan prioritas saya. Saya merelakan rumah berantakan untuk sementara waktu. Saya hanya beberes seminggu sekali. Untuk hal itu saya sudah izin sama suami tercinta dan beliau mengerti. Malah kadang suka bantu saya beberes, tapi ala dia... hehehe..

Tidak sempat memasak

Sekarang ibu sudah bisa memasak lagi, jadi memasak juga bukan prioritas saya, kecuali makanan Dova. Soalnya Dova lagi aktif-aktifnya dan berisiko accident. Tambahan lagi, Dova ga mau lepas dari saya...beeuuhh... Urusan kerepotan mengurus anak memang tidak selalu soal jumlah anak, tetapi juga tingkat ketergantungan anak pada kita. Mengasuh anak 1 tidak selalu lebih ringan dari mengasuh anak 3. Yang anak 1 mungkin tingkat ketergantungannya tinggi dan yang anak 3 mungkin sudah lebih mandiri. Ibu saya dulu anak 3 tapi masih sempat ini itu karena anaknya kalem. Sekarang saya anak 1 tapi repotnya minta ampun karena aktif banget. Jadi saya tidak pernah membanding-bandingkan kondisi saya dengan ibu-ibu lain.

Cucian numpuk

Cucian numpuk, sesuai saran suami, cucian dewasa yang berat-berat kita kirim aja ke laundry. Tidak usah ambil pusing dengan hasil kerja laundry yang kurang memuaskan karena dicuci dengan sentuhan mesin. Yang penting saya bisa rileks. Itu satu-satunya senjata saya buat booster ASI. Rileks. Untuk cucian anak, saya cuci dan setrika sendiri. Setrikanya tidak perlu rapi-rapi amat, yang penting kuman mati. Kecuali baju anak yang buat pergi, baru deh agak rapian dikit.

Alhamdulillah... badai postpartum saya telah berlalu kawan...



Anak saya sudah lulus ASI 2 tahun plus, ibu saya sudah bisa hidup normal kembali dan seneng banget kalo diajak piknik, khikhikhi... adik saya sudah lulus UN dengan nilai sangat memuaskan rata-rata sembilan koma (mengalahkan saya waktu Ebtanas dulu) dan masuk SMP yang diidam-idamkannya (SMP saya dulu loh...yeaaayyy!!)

Bersyukur kepada Allah yang selalu menyabarkan dan menguatkan hati saya, dan selalu menemani saya di berbagai kondisi serta fase dalam hidup saya.

Berterimakasih kepada suami yang selalu setia menemani dalam senang maupun susah. Thanx for susu ultra coklatnya, yoghurt, susu kedelai, traktiran makan capcay sepulang ngajar, pijatannya, jalan-jalan refreshingnya, bantuannya jaga Dova meski panikan, perhatiannya, pengertiannya, enggak banyak nuntutnya, mencintai dan menerimaku apa adanya. Love you, my great husband.

Thanx to all my family member, buat segala dukungannya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Thanx to all my friends, buat segala bantuannya, baik langsung maupun tidak langsung. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kaliaaaann...

Dari dulu, postpartum blues itu adalah target saya untuk cepat dilewati dengan baik. Pertama kali dapat kuliah tentang ini dulu, saya langsung bertekad, Ya Allah... saya enggak mau postpartum blues saya sampai parah dan destruktif. Kalau ada postpartum blues, harus bisa dihadapi dengan baik dan konstruktif. Alhamdulillah, doa saya terkabul.

Kisah ibu-ibu Palestina



Salah satu hal yang selalu saya ingat adalah ibu-ibu di Palestina yang harus melahirkan dan menyusui dalam kondisi perang dan kematian anggota keluarga di mana-mana. Suami meninggal... orang tua meninggal... anak meninggal... Seringkali ibu-ibu itu harus melahirkan anak dengan jasad suami terbujur di hadapannya. Anak-anak yang mereka lahirkan prematur pula. Saya kira kondisi mereka jauh lebih parah dan rentan depresi. Kondisi saya masih jauh lebih baik.

Menjalani masa-masa postpartum yang normal saja sudah berat, apalagi postpartum dengan aneka tambahan peristiwa pengiring. Tetapi mengingat ada orang-orang yang kondisinya jauh lebih berat dari kita, seperti kisah ibu-ibu Palestina tadi, setidaknya bisa menjaga pikiran saya untuk tetap berada di tempat yang seharusnya, di garis normal. Kalau pun kita memutuskan untuk berobat pada ahlinya dalam rangka menghalau post partum blues, tetap dibutuhkan upaya mandiri dari dalam diri kita sendiri untuk keluar dari depresi.

Karena hidup tidak selalu ideal. Berdamai dengan segala kekurangan akan jauh lebih baik dari pada memaksakan untuk ideal tetapi tertekan dan depresi. Sementara senyum dan kebahagiaan kita sangat dibutuhkan oleh anak, suami, orang tua, dan keluarga kita.

* * * * *

Seharusnya kawanku itu tidak perlu merasa gagal, karena perjalanan kita sebagai seorang ibu, istri, dan anak belum berakhir. Tetap semangat, kawan!


Salam sayang

1 komentar:

  1. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya.
    Silakan tinggalkan komentar yang positif ya.

    BalasHapus