Hmm... kali ini saya tidak ingin membagikan info atau tips, tetapi saya ingin membagikan pengalaman saya sewaktu melahirkan Dova, yang menurut saya sih agak dramatis. Dan supaya sobat blogger lebih jelas dalam membacanya, maka saya sajikan dalam bentuk kronologi waktu.
Sabtu, 16 Agustus 2014
Jam 06.00
Suami berangkat ke luar kota untuk sebuah pekerjaan. Rencananya untuk 1 minggu. Sebenarnya saya agak khawatir, jangan-jangan anaknya keburu lahir sebelum dia pulang. Karena beberapa hari belakangan saya sudah sering merasakan kontraksi palsu. Tapi berhubung dia terus meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya pun pasrah.
Jam 08.00
Setelah suami berangkat, saya langsung ke rumah ibu. Tidak terlalu jauh, hanya 15 menit naik angkot.
Jam 16.00
Sumbat serviks keluar saat saya berkemih. Wah... kalau ingat pelajaran kuliah dulu sih, sepertinya sudah dekat nih. Tapi saya tetap berharap supaya tidak segera lahir dulu, setidaknya sampai suami pulang. Saya coba ajak bicara si jabang bayi, "Kakak, nanti aja lahirnya kalau ayah sudah pulang ya, Nak." Meskipun demikian, tetap di hati kecil saya ada feeling, sepertinya akan segera lahir.
Jam 18.00
Mulai maghrib, kontraksi mulai datang konsisten dan cukup kuat. Saya tidak hitung berapa menit sekali, kemungkinan tiap satu jam sekali. Rasanya seperti nyeri haid yang datang hilang timbul semalam suntuk. Yang jelas tidur saya terganggu oleh kontraksi tersebut. Mules sekali.
Minggu, 17 Agustus 2014
Jam 07.00
Sesuai saran ibu saya dan karena feeling juga, akhirnya saya putuskan untuk periksa.. Sampai di rumah bersalin, benar saja, sudah pembukaan satu. Oalaaahhh... Suamikuu... where are you???
Berhubung masih pembukaan satu, maka saya disarankan bidan untuk pulang dulu. Persalinan anak pertama memang biasanya memakan waktu belasan jam atau beberapa hari untuk sampai pada pembukaan 7.
Jam 08.00
Sesampai di rumah, saya mendapati pemandangan yang kurang enak. Angina pectoris (nyeri dada karena penyempitan pembuluh darah jantung) ibu kambuh. Seperti biasa, kalau angina datang tak kunjung reda, ibu saya selalu taruh ISDN (obat yang memperlebar pembuluh darah) di bawah lidah. Berarti ini kali kedua beliau kambuh hari ini. Yang pertama tadi jam 3 dini hari.
Jam 09.00
Setelah anginanya reda, ibu berangkat pergi terapi pijat. Katanya, terapi ini bisa memperbaiki metabolisme tubuh. Ibu memang ada penyakit diabetes mellitus (DM) juga. Sebenarnya saya tidak terlalu yakin akan khasiat terapi itu. Tapi karena hanya massage, ya okelah, masih masuk akal. Mungkin baik untuk relaksasi.
Jam 10.00
Saya menjemput ibu ke tempat terapi pijat. Sampai disana, ibu saya bercerita, ibu barusan sebelum dipijit kambuh lagi anginanya, dan sudah taruh ISDN lagi dibawah lidah. Wah! Sudah 3 kali kambuh berarti hari ini. Perasaan saya langsung tidak enak. Dalam kondisi hamil tua, bloody show terus, kontraksi makin kuat, dan susah jalan karena kaki bengkak, saya bawa ibu pulang dengan taksi. Di jalan, saya sibuk menahan perasaan yang berkecamuk.
Jam 11.00
Sampai di rumah, angina ibu kambuh lagi. Ini berarti selama 8 jam terakhir sudah 4 kali kambuh. Yang terakhir ini ibu sudah benar-benar kepayahan. ISDN di bawah lidah sudah tidak mempan lagi. Nyeri hebat tetap ada. Tubuh ibu basah oleh keringat dingin. Butiran keringatnya besar-besar. Wajahnya pucat. Ibu mengatakan ingin dibawa ke rumah sakit karena sudah tidak tahan lagi. Sakit sekali di dada, lengan kiri, rahang, hingga ke punggung. Ibu teringat ucapan dokternya, kalau sudah 3 kali kambuh langsung ke rumah sakit.
Saya pun langsung meminta adik saya nomor 2, untuk mengantar ibu ke rumah sakit umum terdekat pakai motor. Sepanjang jalan ibu merintih, menyandarkan kepalanya di punggung adik saya, dan selalu mengatakan mengapa perjalanan terasa begitu lama. Saya sendiri menyusul dibonceng adik nomor 3 bersama adik nomor 4. Meskipun sudah ngebut, tapi rasanya memang perjalanan terasa begitu lama.
Jam 12.00
Sampai di rumah sakit, saya lihat ibu masih kesakitan. Masih keringat dingin. Tapi sudah dipasang kanul oksigen di hidung. Empat butir obat jantung sudah siap di atas meja. Saat berbicara dengan dokter jaga, betapa kagetnya saya, "Serangan jantung, Bu.".
Deg!!! Lemas rasanya seluruh tubuh saya mendengar diagnosis itu. Saya merasa tidak punya tulang. Ingin ambruk ke lantai. Mual. Ingin menangis sejadi-jadinya. Jadi ini yang namanya serangan jantung? Seumur-umur saya kuliah membahas tentang serangan jantung, tetapi saya belum pernah melihat langsung pasien yang sedang serangan jantung. Ya Allah... ternyata ibu saya mengalami penyakit mematikan ini. Ya Allah... kuatkan aku...
Jam 13.00
Dengan perut besar 9 bulan, dalam kondisi kontraksi yang konsisten, saya pontang-panting ke administrasi cari kamar ICU, ambil uang ke rumah untuk deposit RS, antar ibu ke ruang radiologi, dan membeli aneka perlengkapan untuk menginap di RS. Kami semua berbagi tugas. Saya kesana-kemari urus administrasi, adik nomor 2 menjaga ibu di UGD, adik nomor 3 menjaga si bungsu. Sibuk sekali. Pusing sekali.
Jam 17.00
Setelah mendapatkan kamar, menjelang maghrib, ibu didorong masuk ruang ICU. Ruangnya cukup terisolir. Tidak bebas dijenguk. Saya hanya sebentar menemani ibu. Waktu itu perasaan saya hampir hancur. Bagaimana mungkin saya yang siap melahirkan anak pertama ini harus melihat ibu saya terbaring lemah di ICU karena serangan jantung. Sama sekali tidak pernah menyangka. Di dalam hati saya hanya meminta kepada Allah, sang pemilik jagat raya, untuk menguatkan hati saya.
Di samping bed, kami sempat sedikit bicara. Ibu bertanya, "Teteh enggak sakit perutnya? mules?", saya jawab, "Sakit, Bu.". Ibu bertanya lagi, " Kok engga keliatan? Hebat berarti teteh. Kuat.". Mendengar kata-kata ibu, rasanya air mata saya mau jatuh. Tetapi saya tahan. Saya tidak mau terlihat sedih dan lemah di depan ibu saya yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya.
Di samping bed, kami sempat sedikit bicara. Ibu bertanya, "Teteh enggak sakit perutnya? mules?", saya jawab, "Sakit, Bu.". Ibu bertanya lagi, " Kok engga keliatan? Hebat berarti teteh. Kuat.". Mendengar kata-kata ibu, rasanya air mata saya mau jatuh. Tetapi saya tahan. Saya tidak mau terlihat sedih dan lemah di depan ibu saya yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya.
Televisi di ruang tunggu ICU sedang menayangkan detik-detik penurunan sang saka merah putih di istana negara. Kami berempat hanya terdiam. Wajah tiga orang adik laki-laki saya yang nampaknya masih tidak paham dengan duduk persoalan menambah kekuatan saya untuk tegar. Si bungsu yang masih kelas 4 SD justru sibuk menghitung intensitas kontraksi saya. "Wahh!! Udah 5 menit sekali, Teh! Teteh pergi ke bidan aja deh!"
Jam 19.00
Menjelang isya, ayah kami datang. Ayah kelihatan bingung mengapa ibu bisa sampai masuk ICU. Ayah kelihatan sangat terpukul mendengar kata serangan jantung.
Terus terang ini pengalaman pertama keluarga kami memiliki anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit. Masuk ICU pula. Saya ceritakan peristiwa seharian tadi kepada ayah.
Menjelang isya, ayah kami datang. Ayah kelihatan bingung mengapa ibu bisa sampai masuk ICU. Ayah kelihatan sangat terpukul mendengar kata serangan jantung.
Terus terang ini pengalaman pertama keluarga kami memiliki anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit. Masuk ICU pula. Saya ceritakan peristiwa seharian tadi kepada ayah.
Setelah ayah membesuk ibu sebentar, kami semua memutuskan untuk pulang. Adik-adik saya yang besar besok harus masuk kerja dan si bungsu harus sekolah. Ayah juga harus pulang untuk mempersiapkan keperluan sekolah si bungsu. Ibu ditinggal sendiri di RS, dititipkan pada perawat.
Jam 09.30
Kami semua meninggalkan ibu bersama perawat dan dokter di rumah sakit. Di depan rumah sakit saya sempat makan nasi soto. Itulah hidangan terhambar yang pernah saya nikmati seumur hidup saya. Kalau bukan untuk cadangan energi saya melahirkan nanti, rasanya saya tidak ingin makan. Rasanya seperti sulit tertelan.
Setelah makan saya diantar adik nomor 3 ke rumah bersalin. Saya hanya akan di drop oleh adik saya. Selanjutnya dia akan pergi ke rumah kost saya untuk mengambil tas bersalin yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Semua keperluan persalinan dan melahirkan sudah siap di dalamnya, tinggal dibawa.
Jam 10.30
Sampai di RB, saya sudah pembukaan 6. Yes! Rupanya wira-wiri siang tadi sangat membantu mempercepat proses pembukaan. Saya kemudian berjalan-jalan cepat untuk menambah kemajuan pembukaan.
Saya juga sempat menelepon suami. Menjelaskan kondisi kami disini. Memohon doanya bagi kesembuhan ibu dan kelancaran persalinan saya. Saya mengatakan padanya bahwa ini adalah proses persalinan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Melahirkan anak pertama tanpa seorang pun anggota keluarga yang menemani. Apalagi berbarengan dengan adanya orang tua yang sakit gawat. Sama sekali diluar bayangan saya.
Saya juga sempat menelepon suami. Menjelaskan kondisi kami disini. Memohon doanya bagi kesembuhan ibu dan kelancaran persalinan saya. Saya mengatakan padanya bahwa ini adalah proses persalinan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Melahirkan anak pertama tanpa seorang pun anggota keluarga yang menemani. Apalagi berbarengan dengan adanya orang tua yang sakit gawat. Sama sekali diluar bayangan saya.
Jam 11.00
Setelah membereskan pakaian yang diantar oleh adik barusan, kontraksi pun mulai terasa sangat hebat. Sampai-sampai saya tidak bisa berdiri lagi. Sakit sekali. Ketika diperiksa ternyata sudah pembukaan 8. Bidan dan asistennya mulai bergegas mempersiapkan peralatan. Beberapa menit kemudian, pembukaan lengkap 10 cm.
Jam 11.30
Kira-kira 3 kali mengejan panjang... Dova pun lahir...
Alhamdulillah.
Malam itu, saya berjuang ditemani 2 orang bidan dan 1 asisten. Prosesnya mudah, cepat, dan lancar. Robekannya lumayan panjang kelihatannya, karena saya menggeser-geser posisi terus. Itu saya simpulkan dari ekspresi wajah sang bidan. Hehehe... Saya pun mendapat banyak jahitan. Kalau boleh saya bandingkan, proses mulai saya naik bed sampai Dova lahir, itu lebih cepat dari pada proses penjahitan luka.
Oya, untuk penjahitan luka saya minta dianestesi. Karena meskipun saya sangat percaya diri mampu melalui nyeri persalinan secara alamiah, tetapi untuk rasa sakit pada proses penjahitan luka (hecting) ini saya ragu. So, dari pada saya memecah kesunyian malam dengan berteriak seperti serigala hutan, hehehe... lebih baik saya dianestesi. Itu pun masih terasa sakit sedikit dan saya sering terkejut. Ambang batas nyeri saya memang rendah.
Tapi sudahlah... soal robekan luka itu saya tidak peduli. Toh tinggal dijahit, makan makanan yang baik, seminggu dua minggu juga sembuh. Fokus pikiran saya tetap kembali ke kondisi ibu saya di RS. Saya benar-benar tidak bisa tenang. Saya hanya ingin semua proses ini cepat berlalu.
Jam 12.30
Saya telepon suami dan mengabarkan bahwa anak pertama kami telah lahir. Dia perempuan, cantik, lucu. BBL 3 kg. PB 48 cm. Suami saya terdengar bahagia dan terharu. Di belakang, seorang kawannya bersorak memberikan selamat. "Jam 11.35? Wah masih 17 Agustus dong? Merdeka!!!", begitu katanya antusias.
Jam 13.00
Saya tidur bersama Dova kecil di sebelah saya untuk pertama kalinya. Dia begitu mungil dan lucu. Saat ini saya benar-benar kacau. Saya bingung, apakah harus berbahagia atau bersedih. Berbahagia sekaligus bersedih rasanya aneh. Akhirnya saya memilih untuk tidak terlalu bahagia, juga tidak terlalu bersedih.
Di depan Dova, saya tidak bisa terlalu bersedih. Walau bagaimana pun, dia pasti menginginkan ibunya menyambut kelahirannya dengan suka cita. Dan Dova memang berhak mendapatkannya.
Senin, 18 Agustus 2014
Jam 06.00
Paginya, saya menyantap semua menu sarapan yang dihidangkan asisten. Setangkup roti bakar coklat, nasi goreng telur, dan segelas susu, ludes masuk ke dalam perut saya dalam durasi 1 jam saja.
Harapan saya cuma satu, fisik saya dapat segera pulih dan bisa segera pulang. Saya ingin mendampingi ibu saya serta mengurus anak saya sendiri.
Waktu itu, ada satu cerita yang membakar semangat saya untuk menjalani hari-hari yang sulit itu, yaitu cerita tentang ibu-ibu hamil di Palestina. Mereka merasakan penderitaan yang jauh lebih dahsyat dari saya. Bagaimana mereka harus tetap tegar melahirkan bayi-bayi prematur, dalam kondisi menakutkan karena bom dimana-mana. Dalam kondisi sendirian, tanpa sanak saudara. Harus melahirkan di depan jasad suami tercinta, orang tua tercinta, dan anak tercinta, yang tewas terkena bom.
Jadi ketika saya melihat kembali ke diri saya, penderitaan saya tidak ada apa-apanya dibanding mereka.
Akhirnya...
Sekarang Dova sudah 2,5 tahun. Neneknya juga sudah pulih kembali dan rutin kontrol ke RS tiap bulan. Semoga kedepannya mereka sehat selalu. Amin.
Begitulah sobat blogger. Kadangkala kenyataan hidup memang tidak sesuai dengan harapan kita, tetapi tetap bersabar dan menguatkan hati bagi saya adalah penawar yang baik untuk melewatinya.
Bagaimana dengan sobat blogger sekalian? Adakah sobat yang juga ingin berbagi pengalaman melahirkan?
Yang jelas, bagaimana pun kondisinya, tetap kuat dan semangat ya sobat blogger. Ada Tuhan yang selalu bersama kita.
Salam
Terimakasih sudah berkunjung
BalasHapusSilakan meninggalkan komentar