Mendengar kata panti jompo, sebagian masyarakat berpendapat negatif. Tempat pembuangan orang tua. Begitu kira-kira. Seperti tidak tahu berterimakasih kepada orang tua. Bagaikan habis manis sepah dibuang.
Adat ketimuran dan agama juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berbakti kepada orang tua hingga akhir hayat mereka, bahkan hingga mereka telah tiada. Orang tua memiliki tempat yang amat terhormat dan mulia di hati kita.
Tetapi benarkah panti jompo adalah tempat pembuangan orang tua?
Pada beberapa kasus, justru orang tua sendiri yang ingin hidup terpisah dari anaknya dan memilih dekat dengan kawan-kawan sesama lansia di panti jompo. Para orang tua ini lebih nyaman tinggal di panti jompo yang memfasilitasi mereka dengan aneka kegiatan yang cocok dengan kebutuhan mereka yang telah sepuh. Dibandingkan jika mereka tinggal bersama anak-anak yang sibuk bekerja dan jarang ada di rumah. Tinggal di panti jompo memberi mereka suasana yang berbeda.
Ada juga kasus dimana lansia membutuhkan bantuan penuh ( fully dependent care ) untuk kehidupan sehari-hari. Perawatan 24 jam karena adanya penyakit tertentu. Tetapi keluarganya semua bekerja dan tidak memungkinkan untuk memanggil seorang perawat lansia ke rumah. Pada kondisi ini, bisa jadi panti jompo adalah pilihan yang cukup bijak. Mengingat orang tua akan terurus dengan baik dan anak-anak bisa bekerja mencari nafkah.
Pernahkah sobat blogger bayangkan, ada situasi-situasi tertentu, dengan kompleksitasnya membuat seseorang tidak memungkinkan untuk merawat orang tuanya sendiri?
Adat ketimuran dan agama juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berbakti kepada orang tua hingga akhir hayat mereka, bahkan hingga mereka telah tiada. Orang tua memiliki tempat yang amat terhormat dan mulia di hati kita.
Tetapi benarkah panti jompo adalah tempat pembuangan orang tua?
Pada beberapa kasus, justru orang tua sendiri yang ingin hidup terpisah dari anaknya dan memilih dekat dengan kawan-kawan sesama lansia di panti jompo. Para orang tua ini lebih nyaman tinggal di panti jompo yang memfasilitasi mereka dengan aneka kegiatan yang cocok dengan kebutuhan mereka yang telah sepuh. Dibandingkan jika mereka tinggal bersama anak-anak yang sibuk bekerja dan jarang ada di rumah. Tinggal di panti jompo memberi mereka suasana yang berbeda.
Ada juga kasus dimana lansia membutuhkan bantuan penuh ( fully dependent care ) untuk kehidupan sehari-hari. Perawatan 24 jam karena adanya penyakit tertentu. Tetapi keluarganya semua bekerja dan tidak memungkinkan untuk memanggil seorang perawat lansia ke rumah. Pada kondisi ini, bisa jadi panti jompo adalah pilihan yang cukup bijak. Mengingat orang tua akan terurus dengan baik dan anak-anak bisa bekerja mencari nafkah.
Pernahkah sobat blogger bayangkan, ada situasi-situasi tertentu, dengan kompleksitasnya membuat seseorang tidak memungkinkan untuk merawat orang tuanya sendiri?
Seperti kisah nyata yang diceritakan oleh seorang sahabat saya...
Saya, Ny.X (32), adalah seorang ibu dari balita perempuan (1,5) yang bekerja paruh waktu. Saya bersama suami dan anak saya, masih tinggal bersama orang tua.
Ayah saya sudah tidak bekerja lagi disebabkan oleh kondisi kesehatannya yang menurun. Memiliki riwayat hipertensi, serangan vertigo ( saat sedang menyetir), pernah dirawat di rumah sakit karena vertigo, dan pandangan mata buram karena katarak.
Ibu saya memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dengan suntik insulin setiap hari. Diabetesnya sudah mengganggu sedikit fungsi ginjal. Ibu juga memiliki penyakit jantung koroner. Pernah 3 kali dirawat di rumah sakit karena serangan jantung. Saat ini sedang menunggu jadwal operasi jantung bypass.
Adik bungsu saya masih kelas 6 SD dan bersiap menghadapi UN. Belakangan ini ia sibuk menjalani beberapa try out UN.
Untuk biaya hidup kami berenam, suami sayalah yang menanggung semuanya. Adapun penghasilan saya digunakan untuk membiayai sekolah adik saya dan membayar kewajiban cicilan.
Ayah saya sudah tidak bekerja lagi disebabkan oleh kondisi kesehatannya yang menurun. Memiliki riwayat hipertensi, serangan vertigo ( saat sedang menyetir), pernah dirawat di rumah sakit karena vertigo, dan pandangan mata buram karena katarak.
Ibu saya memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dengan suntik insulin setiap hari. Diabetesnya sudah mengganggu sedikit fungsi ginjal. Ibu juga memiliki penyakit jantung koroner. Pernah 3 kali dirawat di rumah sakit karena serangan jantung. Saat ini sedang menunggu jadwal operasi jantung bypass.
Adik bungsu saya masih kelas 6 SD dan bersiap menghadapi UN. Belakangan ini ia sibuk menjalani beberapa try out UN.
Untuk biaya hidup kami berenam, suami sayalah yang menanggung semuanya. Adapun penghasilan saya digunakan untuk membiayai sekolah adik saya dan membayar kewajiban cicilan.
Sebulan yang lalu, kakek dan nenek saya (orang tua angkat dari ibu saya) datang dari kampung, bermaksud hendak tinggal bersama kami, dengan alasan sudah renta.
Namun belum sebulan tinggal bersama kami, nenek sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Tinggalah kakek seorang diri sepeninggal nenek.
Namun belum sebulan tinggal bersama kami, nenek sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Tinggalah kakek seorang diri sepeninggal nenek.
Dan, dari sinilah masalah bermula...
Kakek (85) dalam kondisi sakit stroke. Berbicara tidak sinkron, memori hampir tidak ada, kelemahan pada tungkai kaki, dan kelumpuhan lengan kanan. Untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi, BAB, BAK, berpakaian, makan, berjalan, semua harus dibantu. Istilahnya ketergantungan penuh. Pendampingan 24 jam.
Perilaku kakek juga luar biasa istimewa. Setiap hari berteriak keras-keras tanpa mengenal waktu, marah dengan menyerang dan memukul, BAB-BAK di sembarang tempat, bahkan seringkali kotorannya diacak-acak. Persis seperti balita.
Perilaku kakek juga luar biasa istimewa. Setiap hari berteriak keras-keras tanpa mengenal waktu, marah dengan menyerang dan memukul, BAB-BAK di sembarang tempat, bahkan seringkali kotorannya diacak-acak. Persis seperti balita.
Ketika nenek tiada, kira-kira siapakah yang akan menggantikan tugas nenek mengurus kakek?
Mewakili ibu saya,saya berusaha untuk bermusyawarah dengan 2 orang bibi, bibi A dan bibi B. Saya mengajak keduanya untuk bergantian mengurus kakek.
Bibi A tidak setuju, dengan alasan rumahnya sempit, di gang, malu kalau kakek berteriak-teriak. Apalagi bibi ini berjualan makanan di rumahnya, bagaimana kalau kakek sampai mengacak-acak kotoran di warungnya? Hal ini bagaikan mimpi buruk baginya. Dia ingin kakek dirawat oleh ibu saya atau bibi B, dan ia hanya datang menjenguk kakek sesekali saja.
Bibi B mau saja bergantian merawat, asalkan bibi A mau. Kalau hanya ia dan ibu saya berdua bergantian mengurus kakek, ia merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi bibi A adalah satu-satunya anak kandung kakek, sementara bibi B dan ibu saya adalah anak angkat. Selama kakek sakit setahun belakangan juga telah tinggal bersama bibi B.
Intinya tidak dicapai titik temu jika ingin 3 anak ini bergantian mengurus. Saya pun tidak lagi banyak berharap pada bibi A, karena jelas-jelas dia kurang ada itikad baik untuk mengurus kakek.
Saya pernah mencoba untuk mempekerjakan orang yang mau merawat lansia di rumah, tapi rupanya tidak semudah yang saya kira. Yayasan profesional sangat mahal untuk ukuran saya,sedangkan pekerja tradisional banyak yang mundur saat mengetahui kondisi kakek.
Berhubung selama kakek sakit (1 tahun) tinggal bersama bibi B di kampung, maka sekarang otomatis giliran ibu saya yang mengurus kakek.
Baru seminggu kami sekeluarga menggantikan tugas nenek untuk mengurus kakek, telah banyak kesulitan yang terjadi.
Vertigo dan hipertensi ayah kambuh. Ayah saya hanya mampu berbaring di tempat tidur karena pusing hebat. Ibu saya dalam sehari bisa beberapa kali kambuh nyeri dada angina. Kami sekeluarga kurang tidur karena malam-malam begadang mendengar suara teriakan kakek.
Saya juga sangat kerepotan karena dalam waktu yang sama harus mengurus balita dan lansia sekaligus, dengan segala kebutuhan dan tingkah polahnya yang luar biasa. Belum lagi mengurus kedua orang tua saya yang collaps.
Bisa dibayangkan, dalam waktu yang sama, saya harus menenangkan balita yang tantrum sekaligus lansia yang mengamuk. Mempersiapkan makanan balita sekaligus membersihkan kotoran lansia. Menidurkan balita yang uring-uringan sekaligus melayani lansia mengobrol keras-keras. Paradoks. Tidak kondusif bagi perkembangan balita dan kenyamanan lansia.
Itu belum termasuk serangkaian tugas-tugas domestik khas ibu rumah tangga yang juga harus saya kerjakan, seperti memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, mencuci piring, membantu adik saya belajar, dan lain-lain yang cukup menyita waktu dan tenaga.
Entahlah harus bagaimana...
Yang jelas sepeninggal nenek, karena keterbatasan waktu, tenaga, dan kesehatan kami, kakek jadi kurang terurus.
Kami telah berusaha mencoba...
Baru seminggu kami sekeluarga menggantikan tugas nenek untuk mengurus kakek, telah banyak kesulitan yang terjadi.
Vertigo dan hipertensi ayah kambuh. Ayah saya hanya mampu berbaring di tempat tidur karena pusing hebat. Ibu saya dalam sehari bisa beberapa kali kambuh nyeri dada angina. Kami sekeluarga kurang tidur karena malam-malam begadang mendengar suara teriakan kakek.
Saya juga sangat kerepotan karena dalam waktu yang sama harus mengurus balita dan lansia sekaligus, dengan segala kebutuhan dan tingkah polahnya yang luar biasa. Belum lagi mengurus kedua orang tua saya yang collaps.
Bisa dibayangkan, dalam waktu yang sama, saya harus menenangkan balita yang tantrum sekaligus lansia yang mengamuk. Mempersiapkan makanan balita sekaligus membersihkan kotoran lansia. Menidurkan balita yang uring-uringan sekaligus melayani lansia mengobrol keras-keras. Paradoks. Tidak kondusif bagi perkembangan balita dan kenyamanan lansia.
Itu belum termasuk serangkaian tugas-tugas domestik khas ibu rumah tangga yang juga harus saya kerjakan, seperti memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, mencuci piring, membantu adik saya belajar, dan lain-lain yang cukup menyita waktu dan tenaga.
Entahlah harus bagaimana...
Yang jelas sepeninggal nenek, karena keterbatasan waktu, tenaga, dan kesehatan kami, kakek jadi kurang terurus.
Saya sempat berpikir untuk berhenti bekerja dan merawat kakek di rumah. Tapi siapa nanti yang akan membiayai sekolah adik saya? Siapkah saya melihat adik saya terganggu sekolahnya? Lalu siapa yang akan membayar kewajiban cicilan? Siapkah saya melihat debt collector datang ke rumah menagih-nagih hutang? Tanggungan finansial suami saya sendiri sudah cukup berat. Tidak mungkin saya menambah bebannya lagi.
Saya benar-benar bingung dan pusing.
Saya benar-benar bingung dan pusing.
Di satu sisi, saya ingin berbakti kepada kakek ( mewakili ibu dan ayah saya yang secara fisik tidak mampu untuk mengurus kakek sepenuhnya ). Tapi di sisi lain saya juga harus mengurus anak dan suami, membiayai sekolah adik saya, dan membayar kewajiban cicilan.
Melakukan semuanya sekaligus jelas tidak mungkin karena saya memiliki keterbatasan waktu dan tenaga.
Bagaikan buah simalakama. Pilihan yang sulit.
Melakukan semuanya sekaligus jelas tidak mungkin karena saya memiliki keterbatasan waktu dan tenaga.
Bagaikan buah simalakama. Pilihan yang sulit.
Akhirnya,...
Setelah saya timbang-timbang baik buruknya, saya memutuskan untuk... menitipkan kakek di panti jompo.
Dengan pertimbangan, kakek akan ada yang mengurus dengan baik. Ayah saya tidak vertigo lagi dan fokus mengurus pengobatan ibu. Ibu saya tidak serangan jantung lagi dan fokus mengurus dirinya dan keluarga. Kami sekeluarga tidak kurang tidur. Adik saya bisa belajar dengan tenang. Suami saya bisa bekerja optimal. Saya bisa bekerja untuk membiayai sekolah adik dan panti jompo. Saya juga bisa mengurus anak dan suami dengan baik.
Tiap bulan saya dan kedua bibi patungan membayar uang perawatan, snack tambahan, popok dewasa, dan obat-obatan. Dengan pembagian, bibi A 5%, bibi B 40%, dan saya 55%. Kontribusi mereka disesuaikan dengan kemampuan mereka.
Tidak bisa dibilang murah, namun saya memilih opsi ini untuk mendapatkan solusi menang-menang.
Dengan pertimbangan, kakek akan ada yang mengurus dengan baik. Ayah saya tidak vertigo lagi dan fokus mengurus pengobatan ibu. Ibu saya tidak serangan jantung lagi dan fokus mengurus dirinya dan keluarga. Kami sekeluarga tidak kurang tidur. Adik saya bisa belajar dengan tenang. Suami saya bisa bekerja optimal. Saya bisa bekerja untuk membiayai sekolah adik dan panti jompo. Saya juga bisa mengurus anak dan suami dengan baik.
Tiap bulan saya dan kedua bibi patungan membayar uang perawatan, snack tambahan, popok dewasa, dan obat-obatan. Dengan pembagian, bibi A 5%, bibi B 40%, dan saya 55%. Kontribusi mereka disesuaikan dengan kemampuan mereka.
Tidak bisa dibilang murah, namun saya memilih opsi ini untuk mendapatkan solusi menang-menang.
Komentar keluarga besar...
Betapa panasnya telinga dan betapa perihnya hati saat mendengar komentar-komentar keluarga besar di kampung. Predikat anak durhaka, anak yang tidak tahu diuntung, anak kurang ajar, diguyurkan secara membabi-buta kepada ibu bersaudara.
Sayangnya mereka tidak pernah berkomentar langsung di hadapan saya. Mereka hanya berani berkomentar di belakang kami. Seandainya ada yang berani mengatakan itu di hadapan saya, akan saya katakan pada mereka bahwa berbicara memang lebih gampang dari pada melakukan.
Pernahkah mereka, keluarga yang memiliki ikatan darah dengan kakek,merasakan merawat kakek di rumah mereka, barang sehari saja?
Dimana mereka ketika ibu saya serangan jantung karena kelelahan dan stress mengurus kakek?
Dimana mereka saat ayah saya vertigo karena kelelahan dan stress berulang kali mengepel lantai karena kotoran kakek?
Dimana mereka saat suami saya tiap malam terpaksa begadang padahal esok harinya harus bekerja mencari nafkah untuk menghidupi kami sekeluarga besar?
Dimana mereka saat keluarga kami menjalani ujian yang berat itu?
Mengapa mereka saat itu tidak menyapa?
Mengapa mereka saat itu tidak menunjukkan kepedulian?
Pernahkah mereka sekedar bertanya, bagaimana kabar kakek?
Pada saat itu mereka sama sekali tidak ada dan tidak bersuara. Tetapi sekarang mereka lantang bersuara. Padahal mereka tidak pernah merasakan merawat kakek di dalam rumah mereka barang sehari pun. Bagaimana bisa mereka berbicara tentang apa yang kami rasakan?
Seandainya mereka sempat merasakan apa yang kami rasakan, saya yakin mereka tidak akan selantang itu berbicara.
Pernahkah mereka, keluarga yang memiliki ikatan darah dengan kakek,merasakan merawat kakek di rumah mereka, barang sehari saja?
Dimana mereka ketika ibu saya serangan jantung karena kelelahan dan stress mengurus kakek?
Dimana mereka saat ayah saya vertigo karena kelelahan dan stress berulang kali mengepel lantai karena kotoran kakek?
Dimana mereka saat suami saya tiap malam terpaksa begadang padahal esok harinya harus bekerja mencari nafkah untuk menghidupi kami sekeluarga besar?
Dimana mereka saat keluarga kami menjalani ujian yang berat itu?
Mengapa mereka saat itu tidak menyapa?
Mengapa mereka saat itu tidak menunjukkan kepedulian?
Pernahkah mereka sekedar bertanya, bagaimana kabar kakek?
Padahal mereka semua jelas-jelas memiliki hubungan darah dengan kakek dan sempat merasakan juga kasih sayang kakek di masa lalu.
Pada saat itu mereka sama sekali tidak ada dan tidak bersuara. Tetapi sekarang mereka lantang bersuara. Padahal mereka tidak pernah merasakan merawat kakek di dalam rumah mereka barang sehari pun. Bagaimana bisa mereka berbicara tentang apa yang kami rasakan?
Seandainya mereka sempat merasakan apa yang kami rasakan, saya yakin mereka tidak akan selantang itu berbicara.
Sekarang...
Kakek sudah tiada. Tepat 3 bulan semenjak kami menitipkan beliau di panti jompo dalam kondisi disorientasi dan tidak mengenali kami lagi, kakek menghembuskan nafas terakhirnya.
Masih terbayang dalam ingatan saya, kami sempat bimbang di muka panti sewaktu mengantar kakek untuk dititipkan. Sejujurnya saya tidak tega menitipkan kakek yang saya cintai kepada orang lain di hari tuanya.
Namun manakala saya mengingat risiko yang ditimbulkan jika kakek di rumah kami, sangat berbahaya membiarkan ibu dan ayah dalam tekanan yang tinggi karena keadaan kakek.
Kalau mereka berdua sampai kambuh vertigo dan serangan jantungnya, saya sangat takut kehilangan kedua orang tua saya. Atau kalau mereka berdua masuk rumah sakit sekaligus, lalu siapa yang akan mengurus mereka di rumah sakit? siapa yang akan mengurus anak saya? siapa yang akan mengurus kakek?
Banyak pertanyaan berkelebat jika saya tidak segera mengambil keputusan. Selama ini, selain menjaga pola makan, meminimalisir stress adalah satu-satunya jalan untuk mencegah kekambuhan penyakit kedua orang tua saya.
Masih terbayang dalam ingatan saya, kami sempat bimbang di muka panti sewaktu mengantar kakek untuk dititipkan. Sejujurnya saya tidak tega menitipkan kakek yang saya cintai kepada orang lain di hari tuanya.
Namun manakala saya mengingat risiko yang ditimbulkan jika kakek di rumah kami, sangat berbahaya membiarkan ibu dan ayah dalam tekanan yang tinggi karena keadaan kakek.
Kalau mereka berdua sampai kambuh vertigo dan serangan jantungnya, saya sangat takut kehilangan kedua orang tua saya. Atau kalau mereka berdua masuk rumah sakit sekaligus, lalu siapa yang akan mengurus mereka di rumah sakit? siapa yang akan mengurus anak saya? siapa yang akan mengurus kakek?
Banyak pertanyaan berkelebat jika saya tidak segera mengambil keputusan. Selama ini, selain menjaga pola makan, meminimalisir stress adalah satu-satunya jalan untuk mencegah kekambuhan penyakit kedua orang tua saya.
Menitipkan kakek di panti jompo, sama sekali tidak pernah terlintas di benak saya. Bukanlah cita-cita dan keinginan saya. Tetapi manakala situasi terasa begitu sulit, setidaknya panti jompo bisa menjadi solusi menang-menang.
Saya tidak menelantarkan kakek begitu saja. Saya tidak mengirim kakek kepada keponakan kandungnya yang sinis itu tanpa rasa tanggung jawab. Saya tidak pernah sedikit pun merepotkan mereka yang sinis kepada kami. Saya tidak membuang kakek di pinggir jalan tanpa martabat. Tapi saya menitipkan beliau kepada orang yang saya percayai akan mengurus kakek dengan baik.
Andai saja pada waktu itu kondisi saya kondusif, tidak mungkin saya mengambil pilihan itu. Bijak atau tidak bijak, bagi saya tergantung duduk perkaranya, manfaat dan kerugiannya.
Mudah-mudahan sudut pandang dan keputusan saya tidak salah.
Saya tidak menelantarkan kakek begitu saja. Saya tidak mengirim kakek kepada keponakan kandungnya yang sinis itu tanpa rasa tanggung jawab. Saya tidak pernah sedikit pun merepotkan mereka yang sinis kepada kami. Saya tidak membuang kakek di pinggir jalan tanpa martabat. Tapi saya menitipkan beliau kepada orang yang saya percayai akan mengurus kakek dengan baik.
Andai saja pada waktu itu kondisi saya kondusif, tidak mungkin saya mengambil pilihan itu. Bijak atau tidak bijak, bagi saya tergantung duduk perkaranya, manfaat dan kerugiannya.
Mudah-mudahan sudut pandang dan keputusan saya tidak salah.
Nah sobat blogger, itulah sebuah kisah nyata, tentang keluarga yang dengan keterbatasan kondisinya terpaksa menitipkan orang tua di panti jompo. Ternyata kompleks juga ya situasinya.
Jika sobat blogger mengalami situasi yang kurang lebih sama dengan keluarga tersebut dan juga telah memutuskan untuk menitipkan orang tua di panti jompo, ada beberapa hal yang harus sobat blogger perhatikan sebelum memilih panti jompo.
Hal yang harus diperhatikan:
Pilihan terbaik bagi seorang anak adalah merawat orang tuanya sendiri, bagaimana pun keadaannya. Tidak pernah disarankan untuk menitipkan orang tua kita kepada pihak lain. Juga tidak ada seorang anak pun yang rela menitipkan orang tua yang dicintainya kepada orang lain.
Namun manakala situasi menjadi demikian sulit dan rumitnya, masih ada jalan terakhir yang bisa kita pilih tanpa mengorbankan siapa pun. Selamat merawat orang tua yang kita cintai!
Hal yang harus diperhatikan:
- Lokasi. Pilih yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kita, untuk memudahkan jika kita ingin menjenguk atau jika mendadak terjadi sesuatu.
- Pengelola. Pastikan pengelolaannya memiliki izin. Jangan pilih panti jompo yang pengelolaannya terkesan asal-asalan atau meminta uang secara tidak wajar. Pastikan kita mengisi formulir atau surat perjanjian tentang peraturan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak diatas materai.
- Personel. Seharusnya personel yang mengurus para lansia adalah perawat yang benar-benar berlatar belakang pendidikan keperawatan. Kalau pun tidak, minimal pernah terlatih dan memiliki sertifikat pelatihan perawatan lansia, sehingga paham bagaimana harus berinteraksi dan merawat lansia.
- Fasilitas. Pilih yang fasilitasnya dapat memenuhi kebutuhan dasar lansia. Seperti makan, snack, laundry, area berjalan-jalan, kursi roda, televisi, dan tempat beribadah.
- Akses ke tempat pelayanan kesehatan. Pilih yang dekat dengan tepat pelayanan kesehatan seperti puskesmas/klinik/rumah sakit, agar mudah menjangkaunya saat terjadi sesuatu yang darurat.
- Lingkungan. Pilih yang lingkungannya kondusif untuk tempat tinggal lansia. Jangan pilih yang lingkungannya terlalu ramai dan bising. Lingkungan dalam panti juga harus terbebas dari bahaya, seperti asap rokok, karpet yang melipat, tangga, lantai yang licin, atau genangan air.
- Rekomendasi. Lebih baik lagi jika seseorang yang anda kenal baik yang merekomendasikannya. Karena tentu ia tahu persis kelebihan dan kekurangan dari panti jompo tersebut.
Demikianlah sobat blogger...
Pilihan terbaik bagi seorang anak adalah merawat orang tuanya sendiri, bagaimana pun keadaannya. Tidak pernah disarankan untuk menitipkan orang tua kita kepada pihak lain. Juga tidak ada seorang anak pun yang rela menitipkan orang tua yang dicintainya kepada orang lain.
Namun manakala situasi menjadi demikian sulit dan rumitnya, masih ada jalan terakhir yang bisa kita pilih tanpa mengorbankan siapa pun. Selamat merawat orang tua yang kita cintai!
Salam
Terimakasih sudah berkunjung
BalasHapusSilakan meninggalkan komentar